Di sebuah kampung kecil yang jauh dari hiruk-pikuk kota—kampung fiktif yang kalau dicari di Google Maps akan muncul tulisan “Location Not Found”—tinggallah seorang pemuda yang sedang sibuk mengejar passion. Ia berlari kiri-kanan seperti ayam kehilangan induk. Ia mengejar passion seperti mengejar layangan di musim angin puting beliung: penuh semangat, tapi tidak jelas arah.
Setiap hari ia bergumam, “Ikigai… ikigai…” tetapi ibunya selalu salah paham. “Iki gai, lho kok gay?"
Ibunya sempat khawatir, tapi dia tidak melihat kejanggalan perilaku anaknya, kecuali sering berujar iki gai tadi. Maka dipanggilnya ustadz untuk meruqyah anaknya.
Apa boleh buat. Dalam keluarga tertentu, mencari makna hidup sering terdengar seperti sedang kesurupan jin, wkwkwk.
Orang Jepang percaya bahwa ikigai adalah alasan seseorang bangun pagi. Menurut Hasegawa, seorang psikolog klinis dan profesor di Universitas Toyo Eiwa ikigai lahir dari ‘iki’—hidup—dan ‘gai’—nilai. Memang benar, nilai hidup tak selalu berteriak lantang dari puncak gunung. Kadang ia sembunyi di dalam aktivitas kecil: menyeruput teh pagi, membetulkan posisi vas bunga, atau bahkan… mencuci piring. (Bill Gates saja mencuci piring untuk bahagia. Bayangkan, miliarder level dewa saja tidak memilih passion jadi DJ atau stand-up comedian—ia memilih cuci piring.)
Tapi di kampung itu, si pemuda tetap gelisah. Ia ingin passion yang keren. Passion yang membuatnya tampak gagah di Instagram. Passion yang membuat mantan menyesal karena dulu memutuskan dia.
Lalu suatu hari, seorang kakek bijak datang ke kampung itu. Kakek ini tampak seperti percampuran antara guru kungfu dan petani hidroponik. Rambutnya putih, tapi matanya bercahaya seperti lampu LED hemat energi.
Ia berkata, “Nak, jangan kejar passion kalau bikin hidupmu konyol. Kejar yang kau cintai dan kau kuasai dan dibutuhkan dunia dan bisa bikin kamu hidup layak. Itulah ikigai.”
Si pemuda terdiam. Ia baru sadar bahwa passion tanpa penghasilan hanyalah hobi mahal. Dan hobi mahal tanpa hasil hanyalah gaya hidup nekat. Bonex!
Lain Jepang, beda pula Silicon Valley. Suatu saat di Stanford, Steve Jobs pernah bilang kepada para mahasiswa baru bahwa kita perlu mengikuti suara hati, tapi bukan sembarang suara hati. Kita harus kembali pada changeless core—inti diri yang tidak berubah, nilai-nilai yang tidak goyah walau dunia gonta-ganti tren, influencer, dan algoritma. Cara mengetahui changeless core menurut Jobs sangatlah sederhana. Pagi hari sehabis mandi dan sudah berdandan rapi, lihatlah diri kita di cermin besar. Tanya kepada sosok utuh di cermin tadi, "Wahai diriku, seandainya hari ini adalah hari terakhirmu. Apakah kamu masih tetap akan melakukan pekerjaanmu hari ini?" Jika jawabannya YA. Itulah changeless core. Saya sudah mencobanya, dan menemukan 3 hal. Training, Healing dan Cooking! Itulah kenapa saya mendirikan Cafe Therapy!
Changeless core itu seperti kompas di tengah badai. Sementara passion? Ah, passion lebih mirip layangan. Indah, tapi gampang terseret angin.
Jobs tidak pernah bilang “ikuti passionmu dan semuanya akan beres.” Ia justru jadi legenda karena mengikuti apa yang melekat dalam dirinya: kecintaan pada desain yang indah, pada kesederhanaan, pada keanggunan teknologi. Nilai yang sama ia bawa sejak bikin komputer di garasi sampai berdiri di atas panggung memperkenalkan iPhone pertama.
Ikigai—kalau dibedah—adalah cara kita menemukan changeless core versi Jepang. Bedanya, Jepang menyajikannya dengan teh hijau dan kebijaksanaan hara hachi bu, sementara Silicon Valley menyajikannya dengan hoodie abu-abu dan kopi overpriced.
Namun intinya sama:
Temukan yang tidak berubah dalam dirimu. Lalu bangun hidup di sekelilingnya.
---
Setelah mendengar wejangan sang kakek, si pemuda pulang sambil berpikir keras. Ia membuka catatan lama, mengingat apa yang ia kuasai, apa yang ia sukai, apa yang dibutuhkan orang, dan apa yang bisa dibayar orang.
Ternyata, setelah digabung-gabungkan, ikigainya sederhana: ia pandai bercerita, suka membuat orang tertawa, lingkungan kampungnya butuh hiburan, dan ternyata orang rela membayar kalau acaranya lucu.
Ia pun membuka jasa stand-up storytelling di acara syukuran, hajatan, sampai lomba balap kelereng antar-RT. Ia tidak menjadi artis nasional, tetapi ia bahagia. Lebih dari itu, ia berguna. Dan hidupnya tidak lagi konyol.
Sebab ia sudah berhenti mengejar passion yang tampak keren, dan mulai mengejar ikigai yang membuat hidupnya berarti.
Sahabatku, Ikigai bukan sekadar pertanyaan “apa yang kamu suka?”
Ikigai adalah persilangan antara cinta, kemampuan, kontribusi, dan pemasukan; empat jalan yang jika menyatu, maka kita bukan hanya hidup… tapi hidup penuh.
Dan tentang passion?
Kejar, boleh. Tapi jangan yang bikin hidupmu jadi lelucon tragis. Kejar yang punya makna. Yang punya nilai. Yang bersandar pada changeless core dalam dirimu. Yang ketika dijalani, membuatmu merasa… “Ah, beginilah seharusnya aku hidup.”
Karena kalau menurut orang Okinawa, kita hanya butuh kebahagiaan-kebahagiaan kecil setiap hari.
Dan itu cukup.
Itu sudah ikigai.
Maka peluklah kebahagian-kebahagiaan kecil itu sampai kapan pun. Sampai mati!
Tabik
-dewahipnotis-
