Di sebuah kampung sepi yang ditingkahi bau tanah basah, hiduplah seorang lelaki bernama Kang Odet. Orang-orang menyangka dia penyair, padahal ia hanyalah penjual pakan ayam di pasar. Setiap sore, setelah berjualan, ia duduk di beranda rumahnya. Menatap langit yang sibuk melukis senja dengan pastel jingga.
“Kang, kenapa sering
bengong?” tanya seorang bocah yang baru pulang mengaji.
Kang Odet menghela napas. “Aku bukan bengong, Tong. Aku sedang memetik kata
kerja transitif di udara.”
Bocah itu melongo. “Kata kerja bisa dipetik, Kang? Kayak mangga?”
Kang Odet tertawa. “Bisa. Bedanya, kalau mangga jatuh ke tanah, bisa busuk.
Kalau kata jatuh ke pikiran, bisa jadi puisi.”
Tetangga sering menganggap Kang
Odet nyentrik. Padahal ia tidak pernah berpakaian aneh. Ia tidak gondrong,
tidak merokok dengan sengaja membiarkan panjang abunya. Ia tidak pula nongkrong
di kafe dengan lampu temaram. Ia hanya lelaki biasa dengan sandal jepit butut.
Ia selalu berkata, “Jiwa seni
tidak perlu kelihatan nyeni.”
Suatu kali kawannya, Asep,
datang dengan rambut gondrong sebahu, memakai syal di musim kemarau.
“Sep, kenapa pakai syal? Panas begini lho,” kata Kang Odet.
“Biar terlihat kayak penyair Perancis.”
“Kau tinggal di Parung, Sep, bukan di Paris,” jawab Kang Odet.
Semua orang tertawa. Bahkan
seekor kambing yang kebetulan lewat mengembik panjang, seolah ikut
menertawakan.
---
Kang Odet percaya seni
bekerja diam-diam. Ia bukan datang dari langit dengan guntur dan kilat,
melainkan tumbuh perlahan di pikiran bawah sadar. Pikiran bawah sadar itu
seperti laut. Di permukaan, tenang. Tapi di kedalaman, ribuan ikan metafora
berenang. Kadang ada paus besar ide muncul sekali seumur hidup. Kadang ada ikan
kecil melompat ke permukaan, maka jadilah sebaris puisi.
Namun laut bukanlah raja. Ada
kapal besar di atasnya. Dan di ujung kemudi, berdirilah nakhoda: itulah pikiran sadar.
Dialah yang memutuskan kapan kapal berlayar, kapan berlabuh, kapan menantang
badai. Laut hanya memberi arus, memberi angin, memberi ombak. Tetapi
nakhoda-lah yang memilih arah.
Kang Odet sering mengajari
anak-anak kampung dengan cara aneh.
“Tenggat waktu itu bukan cambuk dari orang lain. Tenggat waktu itu pelabuhan.
Kalau kau biarkan orang lain menentukan kapan kapalmu berlabuh, itu berarti kau
hanyalah buruh kapal. Tapi kalau kau sendiri yang memilih, itu berarti kaulah
Sang Nakhoda.”
Seorang bocah nyeletuk,
“Kalau begitu, PR saya nggak usah saya kerjakan, KAng. Saya kan nakhoda.”
Kang Odet tertawa terbahak.
“Kalau PR itu bukan kapal. Itu tambang. Kalau tak kau ikat, yang kena rotan kau
sendiri.”
Anak-anak terpingkal-pingkal.
Suara mereka menyaingi kokok ayam jantan yang tak tahu waktu.
---
Bagi Kang Odet, seni bisa
lahir di mana saja. Di sawah, dari suara katak yang riuh selepas hujan. Di
stasiun, dari kereta yang selalu tiba entah dari mana, membawa wajah-wajah
asing yang punya cerita. Di dapur, dari bunyi sendok bertemu piring.
Ia berkata, “Menjadi penyair
itu seperti sawah. Kau tabur benih hari ini, tak langsung jadi padi. Tapi kalau
kau tekun, tanah akan memberi. Dan menulis juga begitu. Kau tidak perlu
menunggu hujan emas inspirasi. Kau cukup membajak tanah pikiranmu, menabur
kata, menyirami dengan keberanian. Sisanya biarlah waktu dan pikiran bawah
sadar bekerja.”
Suatu malam, hujan turun
deras. Orang-orang sibuk menutup genteng bocor. Kang Odet duduk tenang di
beranda, menatap hujan jatuh ke tanah. Lalu ia berkata kepada dirinya sendiri,
“Hujan tidak memilih tempat jatuh. Ia menetes di sawah, di atap, di comberan.
Begitu juga ide. Ia bisa muncul saat kau sedang makan tahu bulat, atau saat
menunggu angkot yang tak kunjung datang. Yang penting kau siap menadahnya.”
Dan benar saja. Malam itu,
sambil menuliskan sesuatu di buku lusuhnya, ia menemukan kalimat yang lama ia
cari:
“Aku adalah nakhoda.
Kapalku bisa berlayar kapan saja, tanpa peluit siapa pun. Aku berlayar karena
aku mau, bukan karena aku disuruh.”
Kalimat itu sederhana, tapi
membuat dadanya lapang.
Ia menutup bukunya, menatap
langit yang mulai reda. Hujan masih menetes di ujung genteng, tetapi di dalam
dirinya, badai telah reda. Ia tahu kini: kendali selalu ada di tangannya.
Seni bukan tentang menunggu,
melainkan tentang berani. Bukan tentang ilham, melainkan tentang arah. Dan yang
paling penting: bukan tentang orang lain, melainkan tentang keberanian kita
menjadi nakhoda.
Semoga bermanfaat
Tabik
-dewahipnotis-