NaZaMWZcMGZ8LGZ7MGxaNGtaLDcsynIkynwbzD1c

Imajimu, Nahkodamu

BLANTERLANDINGv101
3034015059065731839

Imajimu, Nahkodamu

02/10/25


 

 


Di sebuah kampung sepi yang ditingkahi bau tanah basah, hiduplah seorang lelaki bernama Kang Odet. Orang-orang menyangka dia penyair, padahal ia hanyalah penjual pakan ayam di pasar. Setiap sore, setelah berjualan, ia duduk di beranda rumahnya. Menatap langit yang sibuk melukis senja dengan pastel jingga.

“Kang, kenapa sering bengong?” tanya seorang bocah yang baru pulang mengaji.
Kang Odet menghela napas. “Aku bukan bengong, Tong. Aku sedang memetik kata kerja transitif di udara.”
Bocah itu melongo. “Kata kerja bisa dipetik, Kang? Kayak mangga?”
Kang Odet tertawa. “Bisa. Bedanya, kalau mangga jatuh ke tanah, bisa busuk. Kalau kata jatuh ke pikiran, bisa jadi puisi.”

Tetangga sering menganggap Kang Odet nyentrik. Padahal ia tidak pernah berpakaian aneh. Ia tidak gondrong, tidak merokok dengan sengaja membiarkan panjang abunya. Ia tidak pula nongkrong di kafe dengan lampu temaram. Ia hanya lelaki biasa dengan sandal jepit butut.

Ia selalu berkata, “Jiwa seni tidak perlu kelihatan nyeni.”

Suatu kali kawannya, Asep, datang dengan rambut gondrong sebahu, memakai syal di musim kemarau.
“Sep, kenapa pakai syal? Panas begini lho,” kata Kang Odet.
“Biar terlihat kayak penyair Perancis.”
“Kau tinggal di Parung, Sep, bukan di Paris,” jawab Kang Odet.

Semua orang tertawa. Bahkan seekor kambing yang kebetulan lewat mengembik panjang, seolah ikut menertawakan.

---

Kang Odet percaya seni bekerja diam-diam. Ia bukan datang dari langit dengan guntur dan kilat, melainkan tumbuh perlahan di pikiran bawah sadar. Pikiran bawah sadar itu seperti laut. Di permukaan, tenang. Tapi di kedalaman, ribuan ikan metafora berenang. Kadang ada paus besar ide muncul sekali seumur hidup. Kadang ada ikan kecil melompat ke permukaan, maka jadilah sebaris puisi.

Namun laut bukanlah raja. Ada kapal besar di atasnya. Dan di ujung kemudi, berdirilah nakhoda: itulah pikiran sadar. Dialah yang memutuskan kapan kapal berlayar, kapan berlabuh, kapan menantang badai. Laut hanya memberi arus, memberi angin, memberi ombak. Tetapi nakhoda-lah yang memilih arah.

Kang Odet sering mengajari anak-anak kampung dengan cara aneh.
“Tenggat waktu itu bukan cambuk dari orang lain. Tenggat waktu itu pelabuhan. Kalau kau biarkan orang lain menentukan kapan kapalmu berlabuh, itu berarti kau hanyalah buruh kapal. Tapi kalau kau sendiri yang memilih, itu berarti kaulah Sang Nakhoda.”

Seorang bocah nyeletuk,
“Kalau begitu, PR saya nggak usah saya kerjakan, KAng. Saya kan nakhoda.”
Kang Odet tertawa terbahak.
“Kalau PR itu bukan kapal. Itu tambang. Kalau tak kau ikat, yang kena rotan kau sendiri.”

Anak-anak terpingkal-pingkal. Suara mereka menyaingi kokok ayam jantan yang tak tahu waktu.

---

Bagi Kang Odet, seni bisa lahir di mana saja. Di sawah, dari suara katak yang riuh selepas hujan. Di stasiun, dari kereta yang selalu tiba entah dari mana, membawa wajah-wajah asing yang punya cerita. Di dapur, dari bunyi sendok bertemu piring.

Ia berkata, “Menjadi penyair itu seperti sawah. Kau tabur benih hari ini, tak langsung jadi padi. Tapi kalau kau tekun, tanah akan memberi. Dan menulis juga begitu. Kau tidak perlu menunggu hujan emas inspirasi. Kau cukup membajak tanah pikiranmu, menabur kata, menyirami dengan keberanian. Sisanya biarlah waktu dan pikiran bawah sadar bekerja.”

Suatu malam, hujan turun deras. Orang-orang sibuk menutup genteng bocor. Kang Odet duduk tenang di beranda, menatap hujan jatuh ke tanah. Lalu ia berkata kepada dirinya sendiri,
“Hujan tidak memilih tempat jatuh. Ia menetes di sawah, di atap, di comberan. Begitu juga ide. Ia bisa muncul saat kau sedang makan tahu bulat, atau saat menunggu angkot yang tak kunjung datang. Yang penting kau siap menadahnya.”

Dan benar saja. Malam itu, sambil menuliskan sesuatu di buku lusuhnya, ia menemukan kalimat yang lama ia cari:

“Aku adalah nakhoda. Kapalku bisa berlayar kapan saja, tanpa peluit siapa pun. Aku berlayar karena aku mau, bukan karena aku disuruh.”

Kalimat itu sederhana, tapi membuat dadanya lapang.

Ia menutup bukunya, menatap langit yang mulai reda. Hujan masih menetes di ujung genteng, tetapi di dalam dirinya, badai telah reda. Ia tahu kini: kendali selalu ada di tangannya.

Seni bukan tentang menunggu, melainkan tentang berani. Bukan tentang ilham, melainkan tentang arah. Dan yang paling penting: bukan tentang orang lain, melainkan tentang keberanian kita menjadi nakhoda.

 

Semoga bermanfaat

Tabik

-dewahipnotis-


 

BLANTERLANDINGv101
Formulir Kontak Whatsapp×
Data Anda
Data Lainnya
Kirim Sekarang