Sahabatku, mungkin Anda pernah mendengar kisah sejenis ini.
Di sebuah kampung kecil di pinggiran kota, ada seorang
pemuda bernama Randi. Ia terkenal sebagai anak paling rajin ikut segala macam
kelas. Kalau ada pelatihan bercocok tanam organic, Randi hadir. Ada seminar
motivasi, Randi duduk di barisan depan. Ada workshop manajemen keuangan, Randi
sudah bawa kalkulator dari rumah. Bahkan, saat ada training melatih kucing
supaya bisa salto, konon Randi juga mendaftar.
Namun hasilnya? Alih-alih semakin jago, hidup Randi makin
bingung. Di kepalanya, semua teori campur aduk seperti es campur tanpa sendok.
Kadang ia merasa perlu pelatih (coach), kadang merasa butuh mentor, kadang
malah merasa dirinya pasien yang perlu terapis.
Nah, banyak dari kita sesungguhnya seperti Randi. Kita rajin
mengetuk semua pintu, tapi sering salah alamat.
Sahabatku, sekarang mari kita ibaratkan hidup itu seperti ikut
lomba Tour de France
- Training
itu ibarat kursus belajar naik sepeda. Instruktur mengajari cara mengayuh,
menjaga keseimbangan, dan bagaimana kalau jatuh tidak sakit-sakit amat.
Training memindahkan keterampilan, memberi bekal agar kita bisa bergerak.
- Coaching
itu seperti teman yang lari di samping kita, sambil berseru: “Ayo, tetap
di jalur! Belok kiri, nanti jatuh ke sawah!” Dia tidak ikut mengayuh, tapi
memastikan kita tetap mengarah ke tujuan.
- Counselling
adalah saat roda sepeda kita nyangkut di lumpur. Ada beban mental, ada
hambatan yang membuat kayuhan berat. Konselor membantu mengurai simpul
kusut di hati, agar kita bisa kembali melaju.
- Therapy
itu lebih dalam. Bayangkan sepeda kita rusak parah, rodanya bengkok,
rantainya putus. Terapi bekerja seperti bengkel yang memperbaiki kerusakan
mendasar, menyembuhkan luka batin yang membuat kita bahkan tak bisa mulai
mengayuh.
- Mentoring?
Ah, itu seperti ngobrol dengan juara Tour de France. Ia tidak hanya tahu
cara mengayuh, tapi juga hafal jalan-jalan kecil, tahu mana tanjakan
paling curam, dan bisa memberi petunjuk jalan pintas. Ia sudah “been
there, done that.”
Masalahnya, banyak orang salah masuk pintu. Ada yang
seharusnya butuh bengkel (therapy), tapi malah sibuk ikut kursus teori roda
berputar. Ada pula yang sebenarnya sudah bisa mengayuh, tapi kebingungan arah,
lalu datangnya ke pelatih fitness, bukan ke coach.
Lucunya, kadang kita menuntut hal yang bukan porsinya.
Seperti minta tukang tambal ban untuk mengajari cara ikut Tour de France. Atau
datang ke guru matematika hanya untuk curhat soal mantan.
Jadi, pesan moralnya sederhana: jangan sembarang mengetuk
pintu. Tidak semua orang membutuhkan training. Tidak semua harus ikut coaching.
Tidak semua cocok dengan mentoring. Dan tidak semua masalah harus ditangani
counselling atau therapy. Kuncinya adalah: datanglah ke profesi yang tepat,
sesuai dengan kondisi yang sedang Anda alami.
Kalau hidup Anda seperti sepeda yang rodanya goyang, rem
blong, dan sering nyasar ke sawah; mungkin saatnya berhenti sejenak. Periksa:
apa yang Anda butuhkan sekarang? Bekal keterampilan baru? Pendamping yang setia
mengingatkan? Teladan dari yang sudah berpengalaman? Atau justru tangan dingin
seorang terapis?
Nah, kalau Anda ingin belajar bagaimana cara menyentuh hati
manusia, bukan sekadar dengan teori kaku, tapi lewat seni berbahasa yang lembut
dan sugestif, maka kelas ‘How to Speak Ericksonian’ adalah pintu yang tepat untuk Anda. Di kelas
ini kita akan belajar bagaimana bisa membukakan berbagai pintu kepada orang
yang membutuhkan. Kita bisa membukakan pintu training, terapi, konseling,
coaching dan bahkan mentoring.
Karena pada akhirnya, perjalanan hidup ini bukan hanya soal
mengayuh sepeda. Tetapi tentang bagaimana kita bisa sampai di tujuan, dengan
hati yang lebih ringan, dan senyum yang lebih lapang.
Anda bisa menghubungi saya melalui wa.me/628119487572 untuk
informasi lebih lanjut. Kelas terdekat ada di Yogyakarta, tanggal 25-26 October
2025.
Tabik,
-dewahipnotis-