Kemarin, di sebuah sore yang sibuk namun penuh tawa, saya kembali duduk bersama sahabat-sahabat lama dan guru-guru kehidupan di sekitar Stasiun Juanda, Jakarta Pusat. Ada Pak Khrisnamurti, ada Om Tommy, dan Bro Anton Wibowo. Lokasinya sederhana: deru kereta, bau aspal yang baru tersiram hujan, dan riuh rendah klakson bajaj yang entah sejak kapan sudah resmi jadi backsound kota ini. Tapi percayalah, suasananya hangat.
Pertemuan itu sebenarnya tak ada agenda penting, hanya obrolan santai yang kadang nyelonong ke arah serius, lalu kembali lagi ke senda gurau. Jadwalnya pun cair. Kadang kami bisa datang on time, kadang hanya sekadar in time. Tapi tak seorang pun yang mempermasalahkan. Syaratnya cuma satu: saling memberi kabar. Posisi terakhir, ETA, atau sekadar info, “Macet, Bro, masih di harmoni.” Itu saja sudah cukup jadi tanda bahwa persahabatan ini masih dijaga dengan rasa saling menghargai.
Kemarin, giliran saya yang datang in time. Agenda meeting sebelumnya molor seperti karet gelang ditarik terlalu jauh. Tapi, karena ada perasaan saling maklum, pertemuan pun tetap meriah. Obrolan kami berlanjut hingga menjelang maghrib. Padahal biasanya, selepas ashar, kami sudah bubar jalan. Tapi kali ini, seakan persahabatan tak rela cepat-cepat dipisah oleh adzan.
Lucu juga, bukankah biasanya pertemuan molor bikin orang jengkel? Eh, ini justru bikin semua orang betah. Begitulah ranah persahabatan: santai, penuh canda, dan tak ada yang dirugikan.
Namun, dunia profesional adalah cerita lain. Ketika menerima undangan untuk mengisi kelas, baik di ruang-ruang instansi maupun forum publik, saya bukan lagi si sahabat yang santai di warung kopi dekat stasiun. Saya berubah jadi seseorang yang sangat well-prepared. Saya memilih datang lebih awal. Bahkan untuk jadwal di Jakarta, saya berangkat dari Bogor sehari sebelumnya. Bagi saya, lebih baik menyeruput teh hangat di hotel selepas subuh pada Hari-H, ketimbang bertarung dengan kemacetan Bogor-Jakarta di pagi buta.
Profesi saya memang dua: Public Trainer dan Professional Hypnotherapist. Dua dunia yang sama-sama menuntut ketepatan, tapi dengan ritme berbeda. Ketika berurusan dengan training, saya ibarat seorang nelayan yang rajin menarik jala.
Saya harus aktif menjemput bola, memastikan calon klien tidak kehilangan minat hanya karena saya telat mengirim silabus atau terlambat hadir di presentasi awal. Attitude ini saya jaga ketat, karena training adalah kebutuhan sadar: klien tahu ada celah dalam keahlian mereka, dan tugas saya adalah membantu menutup celah itu.
Sebaliknya, terapi adalah dunia yang jauh lebih sunyi. Saya tak perlu berlarian menjemput calon klien. Saya biarkan mereka datang dengan kesadaran mereka sendiri. Mengapa? Karena banyak dari mereka sesungguhnya tidak menyadari ada sesuatu yang mengganggu dalam dirinya. Mereka harus lebih dulu menemukan pengakuan di hati: “Saya butuh pertolongan.” Jika titik kesadaran itu sudah ada, maka komitmen mereka untuk berubah akan jauh lebih tinggi.
Saya pernah mengalami satu peristiwa kecil tapi berkesan. Seorang klien dijadwalkan datang pukul 11.00. Hingga 10.55, tak ada kabar. Saya tidak menanyakan. Tepat pukul 11.25, sebuah pesan masuk: “Pak, saya sudah di depan klinik.” Dengan tegas saya jawab: “Maaf, hari ini saya sudah ada janji dengan klien lain. Jika Anda mulai sekarang, sesi berikutnya akan terganggu. Silakan kembali minggu depan di jadwal sesi kedua Anda.”
Apakah itu terdengar keras? Mungkin. Tapi percayalah, bukan ketegasan yang saya tawarkan, melainkan pelajaran. Terapi bukan hanya soal teknik, tapi juga komitmen. Jika ia terlambat tanpa rasa bersalah, bagaimana mungkin ia sungguh-sungguh ingin sembuh?
Di sinilah makna mutual trust. Dalam ranah persahabatan, ia hadir dalam bentuk kesediaan menunggu dengan ikhlas, membiarkan tawa memanjang hingga malam. Dalam ranah profesional, ia menjelma menjadi disiplin, ketepatan waktu, dan kesadaran bahwa hidup orang lain juga harus dihormati.
Saling menghargai, itu inti semua cerita. Tanpa itu, persahabatan akan rapuh, profesi akan kehilangan wibawa, dan kepercayaan akan runtuh seperti rumah kartu. Tapi dengan itu—oh, betapa indahnya—bahkan macet Jakarta pun terasa hanya seperti bumbu kecil dalam perjalanan hidup yang jauh lebih besar.
Akhirnya, saya belajar bahwa mutual trust itu mirip udara. Ia tak terlihat, tapi tanpa itu, hubungan apa pun akan megap-megap. Dalam persahabatan, ia menjelma tawa yang rela menunggu; dalam profesi, ia berubah jadi sikap tepat waktu dan tanggung jawab.
Percayalah, rasa saling menghargai itu bukan sekadar etika sosial; ia adalah energi kehidupan. Dengan itu, kita bisa duduk santai di pinggir stasiun sambil bercanda, atau berdiri gagah di podium kelas pelatihan. Dengan itu, sahabat jadi saudara, klien jadi mitra, dan hidup terasa lebih tertata.
Karena tanpa saling percaya, kita hanyalah orang asing yang kebetulan bertemu. Tapi dengan saling percaya, bahkan waktu pun mau berhenti sejenak, memberi kita ruang untuk tumbuh bersama.
Semoga bermanfaat
Tabik,
-dewahipnotis-