Budi menatap layar laptopnya lelah. Angka-angka pembelian membaik, tapi penjualan tetap seret. Ia mengetuk meja.
“Kalau kita bisa dapat bahan baku 10% lebih murah, harga jual bisa turun. Harusnya sih bisa laris,” gumamnya.
Pintu ruang meeting terbuka. Rina masuk, membawa selebaran desain promosi.
“Lihat ini. Konsep campaign baru. ‘Beli Satu Gratis Dua’. Bisa viral!” katanya semangat.
Budi mendengus. “Dan margin kita tinggal berapa? Angka nggak bohong, Rin.”
Rina menatap tajam. “Dan kamu pikir konsumen tertarik cuma karena murah? Tanpa promosi, produk kita nggak bakal kelihatan!”
“Tanpa kontrol biaya, semua usahamu cuma bikin kita rugi,” balas Budi.
Hening. Dua kepala, dua strategi.
Tapi pagi itu, yang terdengar hanya bunyi detik jam dinding—dan ego yang belum selesai bicara.
---
Sahabatku, mungkin Anda pernah mengalami situasi di atas. Nggak sama persis sih, mungkin hanya mirip. Bisa jadi situasi seperti itu terjadinya di rumah. Anda pingin melakukan apa. Sementara pasangan Anda juga punya ide lain. Dua kepala. Dua ide.
Jika tidak di-manage dengan baik, situasi seperti itu berpotensi menghantam hubungan antar individunya. Tapi memang banyak kepala pastilah beda isinya! Emangnya demi sebuah kepentingan, isi kepala manusia harus sama semua? Robot dong itu namanya!
Lalu, bagaimana dong jika dalam sebuah organisasi atau komunitas atau keluarga dalam sebuah keadaan membutuhkan penyamaan isi kepala? What should be done?
Puussiiing!?!
Woles, Kawan. Many ways leads to Rome. Dalam menyikapi situasi di atas, first think first adalah merumuskan tujuannya dulu. Jika sudah ada tujuan yang SMART (Specific, Measurable, Achievable, Reasonable, Time Bound), barulah cari payung besar pemikirannya. Dalam bahasa management, kita mengenal istilah induktif. Dalam NLP dikenal juga pemikiran chunk up.
Maksudnya adalah, kita coba mencari sebuah kesimpulan yang lebih umum atau lebih luas pengertiannya berdasarkan hal-hal spesifik.
Contoh kasus, ketika hari lumayan terik, maka sekelompok pemuda berusaha menutupi kepala mereka dengan tujuan agar tidak mengalami dehidrasi. Sebagian memilih memakai topi baseball, sebagian lagi memakai topi fedora, ada yang memilih menggunakan caping.
Maka cukup katakan, "Silakan gunakan tutup kepala agar Anda tidak dehidrasi!"
Dengan pendekatan chunk up atau induktif seperti ini, semua anggota kelompok merasa terwadahi aspirasinya. Meski banyak kepala, banyak ide, tapi satu tujuan tetap bisa dicapai. Tak ada konflik. Tanpa Drakor.
Tentu dibutuhkan keahlian khusus agar kita bisa berpikir chunk up. Misal sebuah keluarga, sebut saja keluarga Fulan. Jika Fulan membeli seekor ayam, dan istrinya Fulanah membeli seekor bebek. Maka keluarga Fulan memiliki dua.......?
Yup, Anda benar jika menjawab 2 UNGGAS. Nah, bagaimana jika kemudian anak sulung minta dibeliin seekor kambing. Keluarga Fulan memiliki 3 ekor apa dong?
Hewan? Terlalu tinggi klasifikasinya.
Yes, Ternak. Sekarang keluarga Fulan memiliki 3 ekor ternak. Mulai paham kan, Kawan?
Nah, what if, tetiba saja si bungsu minta dibeliin seekor harimau. Keluarga Fulan memiliki......?
Empat ekor hewan?
Tet tooooot!!!
Yang benar, keluarga Fulan memiliki seekor harimau! Wkwkwkwk, serius amat sih mikirnya.
Sampai jumpa, semoga bermanfaat.
Tabik
-dewahipnotis-
