Halo Sahabatku, semoga Anda sudah membaca tulisan sebelum ini, yang berjudul "Kirik ki!!"
Masih dari semesta kirik, kali ini kita kembali ke masa ketika G-Maps belum lahir, dan "search engine" terbaik adalah ibu-ibu warung depan gang. Masa di mana mahasiswa hidup bukan dengan kuota internet, tapi dengan tekad, mie instan, dan kebersamaan. heuheu
Waktu itu saya masih kuliah . Dan seperti umumnya anak muda pada masanya, kami punya kebiasaan unik-unik absurd tapi memorable, memberi nama julukan ke teman-teman. Alias paraban, alias nickname, alias… ya, semacam branding tidak resmi tapi mengikat seumur hidup.
Ada yang dipanggil “Gepeng” karena badannya tipis seperti kartu ATM. Ada “Jelitheng” karena kulitnya legam eksotis, dan dengan bangga ia terima itu sebagai identitas. Ada yang dipangil Kendall, karena berasal dari sana. Tapi satu yang paling legendaris—adalah kawan kami yang akrab sekali dipanggil… Kirik.
Entah siapa yang pertama mencetuskan, dan entah kenapa semua langsung sepakat. Yang jelas, saking melekatnya nama itu, kami sampai benar-benar lupa siapa nama aslinya. Asli! Kalau soal hafalan ini masuk ujian, pasti banyak yang remedial, heu heu lagi.
Suatu hari saya dan Gepeng sepakat untuk main ke rumah Kirik. Niat silaturahmi—dan tentu, numpang makan, wkwkwk. Tapi karena belum ada Waze atau G-Maps, yang kami bawa cuma alamat lengkap—dan modal nekat. Kami mengandalkan peta klasik: alamat lengkap RT-RW dan satu sistem navigasi kuno bernama GPS: Gunakan Penduduk Sekitar.
Setelah sempat tersesat dan bertanya ke beberapa warga (dan satu tukang bakso), akhirnya kami tiba di sebuah rumah berarsitektur jati klasik. Dinding kayu jati, pintu tinggi, suasana adem. Kami ketuk pelan. Lama. Lalu—krieeet—pintu terbuka. Muncul seorang wanita separuh baya dengan penampilan tak biasa: celana jeans pendek, kaos oblong tanpa lengan, dan gaya bicara seperti oma-oma di sinetron Belanda yang diputar di TVRI selepas dunia dalam berita.
"Ya, ada apa ya?" sapanya ramah, senyumnya nyantai seperti habis minum teh melati.
Kami gugup. Saya dan Gepeng saling lempar pandangan. Panik, bro. Masa iya kami nyelonong ke rumah orang dan bilang, "Kami mau ketemu Kirik"?
"Eh, anu Bu... Kami dari UGM, mau ketemu... eh..."
"Nyari Kirik ya?"
Bruk.
Langsung kami pengen sembunyi di bawah taplak meja. Bhuahahaha.
"Iya, ada kok di belakang. Kiriiiik, ini lho, kawanmu datang!" teriak si ibu sembari menyilakan kami masuk.
Kami masuk dengan muka ditekuk jadi origami. Menahan tawa. Melongo juga.
Ternyata... DI RUMAHNYA PUN IA DIPANGGIL KIRIK!
Oma itu bahkan seakan bangga meneriakkan nama itu dengan lantang.
Dan saat itu juga kami sadar... ini bukan julukan dari kami—mungkin justru dari sang ibu. Bisa jadi, beliau pernah tinggal di luar negeri dan tahu bahwa “kirik” artinya puppy. Dan puppy is funny, no?
Dalam NLP, ada konsep yang disebut Labeling. Apa yang kita sebut pada sesuatu, bisa memengaruhi cara kita merasa terhadapnya. Dan cara kita merasa, akan menentukan cara kita berperilaku.
Contohnya? Ya Kirik ini tadi. Di kepala sebagian orang Jawa, “kirik” adalah makian. Tapi di kepala anak yang lahir di Amerika, atau ibu yang mungkin pernah tinggal di luar negeri, “kirik” adalah puppy. Dan puppy? Menggemaskan!
Label bisa menjadi batas. Bisa juga jadi pintu.
Kalau kita memanggil seseorang “bodoh” terus-menerus, jangan heran kalau ia mulai malas berpikir. Tapi kalau kita memanggil anak “pintar”, “penyayang”, atau “kuat”—besar kemungkinan dia akan tumbuh sesuai label itu.
Inilah kenapa kata-kata membentuk dunia kita. Bahkan sebutan sepele bisa mengubah identitas seseorang di mata orang lain—dan dirinya sendiri.
Sahabat saya itu mungkin sudah tumbuh jadi orang hebat. Dan bahkan saat ia sekarang sudah hebat, panggilan "Kirik" tetap hidup. Tapi kini dengan makna baru: lucu, asik, dan punya cerita.
Kadang hidup ini seperti panggilan paraban:
Kita tak sadar sudah melekatkan label ke orang, ke diri sendiri, ke dunia... dan kita hidup sesuai label itu, tanpa pernah bertanya:
“Apakah ini makna yang tepat?”
“Apakah aku mau hidup dengan label ini?”
NLP mengajarkan kita untuk menyadari label, menelusuri makna, dan kalau perlu—mengganti peta mental kita dengan yang lebih sehat dan memberdayakan.
Siapa sangka, di balik panggilan “Kirik” yang bikin ngakak itu, tersimpan pelajaran berharga soal persepsi, makna, dan identitas.
Sahabatku, coba deh pikirkan:
Apakah ada "label" atau "julukan" yang selama ini melekat ke dirimu atau orang terdekatmu? Apakah itu membantu kamu bertumbuh, atau justru membatasi?
💬 Ceritakan di kolom komentar atau catat di jurnal harianmu. Dan kalau kamu ingin belajar bagaimana mengganti label negatif jadi makna yang memberdayakan, kenalan lebih dekat yuk dengan NLP. Karena kadang, perubahan besar dimulai dari satu kata—yang maknanya kita ubah dengan sadar.
Yuk Belajar Bahasa Hati kepada Ananda
NLP PAREN-TALK
Cara Cerdas Mendidik Buah Hati dengan Cinta
📆 23 Agustus 2025
⏰ 10.00 - 15.00 WIB
📍 Webinar Parenting NLP: Cara Cerdas Mendidik Buah Hati dengan Cinta
🎯 Belajar komunikasi empatik dan efektif dengan pendekatan NLP.
🏆 Investasi 499K
🔗 Daftar di sini: https://s.id/NLParenTalk
Salam hangat dan penuh makna,
LKP Cafe Therapy
