NaZaMWZcMGZ8LGZ7MGxaNGtaLDcsynIkynwbzD1c

Setan Gepeng

BLANTERLANDINGv101
3034015059065731839

Setan Gepeng

28/06/25



Waktu masih kuliah dulu salah satu senior yang sekarang sudah menjadi ustadz skala nasional pernah berpesan sembari bercanda. "Wo, kalau cari istri nanti kalau bisa jangan yang berkacamata!"
Masih dengan penasaran, saya bertanya, "Emang kenapa Mas?"
"Cewek berkacamata itu cenderung nggak sayang suami. Kalau bangun tidur dia nggak langsung nyari suaminya!"

Asem. Kirain serius. Wkwkwk

Tapi dengan perkembangan zaman sekarang ini, bukan hanya wanita berkacamata. Hampir semua istri bangun tidur juga tidak langsung mencari suaminya. Pasti yang diraih pertama kali adalah HP! Dan tidak hanya wanita, sebagian besar suami juga melakukan hal sama. Apalagi jika gawainya belum terkunci! Wkwkwk...! 

Sahabatku, munculnya benda satu ini memang bagaikan pisau bermata ganda. Selain manfaat canggihnya yang memang sudah tak perlu diragukan lagi, namun efek penghancurnya juga sudah banyak buktinya. Salah satu ustadz saya bahkan menamai benda ini sebagai 'Setan Gepeng.' Kita sudah mahfum terminologi setan digunakan untuk menandai sesuatu yang sangat mengganggu dan cenderung desktruktif. 

Kurang mengganggu apa coba, jika dalam kondisi apa pun tangan kita selalu sibuk mencetin layar benda tersebut! Ketika makan, benda tadi ikut ke meja makan. Waktunya kerja, atas nama supporting tools, benda tadi lengket di tangan. Sembari nyetir, ada saja orang yang memainkannya. Mau tidur, badan sudah nempel di kasur, kepala sudah terkulai di bantal pun, mata masih dipaksa menatap layar benda ini. Bahkan ada juga yang nekat membawa barang ini ke kamar mandi!

Di era digital yang serba cepat ini, kita semakin akrab dengan pemandangan orang-orang yang berkumpul di meja makan, kafe, atau ruang keluarga, namun justru tenggelam memandangi setan gepengnya masing-masing. Mereka hadir secara fisik, tapi secara mental dan emosional… entah di mana. Fenomena ini ternyata sudah begitu lazim, hingga pada tahun 2012, sebuah kata baru diciptakan untuk menggambarkannya: phubbing.

Istilah phubbing merupakan gabungan dari dua kata dalam bahasa Inggris, yaitu "phone" (telepon) dan "snubbing" (mengabaikan dengan sengaja). Kata ini merujuk pada perilaku mengabaikan orang yang ada di hadapan kita karena terlalu sibuk dengan ponsel. Misalnya, ketika seseorang terus-menerus menggulir media sosial saat sedang berbincang dengan temannya — itulah bentuk nyata dari phubbing.

Menariknya, kata ini bukan lahir dari lingkaran akademik atau ilmuwan bahasa, melainkan dari sebuah kampanye kreatif. Pada tahun 2012, Macquarie Dictionary, sebuah kamus bergengsi di Australia, bekerja sama dengan tim periklanan untuk mengadakan kompetisi penciptaan kata. Tujuannya adalah meningkatkan kesadaran publik tentang perubahan perilaku sosial yang disebabkan oleh teknologi. Dari sinilah lahir istilah phubbing, yang kemudian menyebar luas dan digunakan di berbagai negara.

Alasan di balik penciptaan kata ini cukup sederhana, namun kuat: masyarakat menghadapi masalah baru dalam hubungan sosial akibat kehadiran smartphone, namun belum ada satu kata pun yang bisa menggambarkan situasi itu secara ringkas. Maka, phubbing pun menjadi solusi bahasa untuk masalah yang nyata — dan ironisnya, kian relevan dari hari ke hari.

Dengan munculnya phubbing, kita diingatkan bahwa bahasa adalah makhluk hidup yang terus berkembang. Ia menyesuaikan diri dengan dunia, menciptakan istilah-istilah baru untuk menggambarkan realitas yang tak pernah diam. Namun di balik istilah ini, tersimpan sebuah ajakan diam-diam: untuk kembali hadir sepenuhnya dalam interaksi nyata, dan meletakkan sejenak layar kecil yang kerap mencuri perhatian kita dari hal-hal besar di depan mata.

Sahabatku, berikut ini saya sarikan dari berbagai sumber, beberapa tips jitu untuk menghindari phubbing, ditinjau dari perspektif psikologi positif dan mindfulness:

1. Latih Kehadiran Penuh (Mindfulness) Saat Bersama Orang Lain
Mindfulness adalah kemampuan untuk hadir sepenuhnya di saat ini, tanpa menghakimi.
🔹 Praktikkan:
  • Saat berbincang dengan seseorang, sadari napas dan fokuskan perhatian pada suara, ekspresi wajah, dan bahasa tubuhnya.
  • Taruh ponsel dalam posisi "jauh dari jangkauan" agar tidak mengganggu perhatian Anda.

2. Terapkan Konsep “Savoring” dalam Psikologi Positif
Savoring adalah kemampuan untuk menikmati dan memperpanjang pengalaman positif.
🔹 Praktikkan:
  • Nikmati momen sederhana seperti tawa teman, suasana tempat makan, atau pelukan orang tercinta — tanpa gangguan dari notifikasi.
  • Latih diri Anda untuk berkata dalam hati: "Ini momen yang berharga, aku ingin sepenuhnya hadir di sini."


3. Gunakan Teknik “Pause & Breathe” Sebelum Ambil Ponsel
Dalam mindfulness, jeda sejenak sebelum bertindak disebut the sacred pause.
🔹 Praktikkan:
  • Ketika muncul dorongan untuk mengecek ponsel, tarik napas dalam-dalam.
  • Tanyakan pada diri sendiri: “Apakah ini benar-benar perlu sekarang?”

4. Bangun “Positive Connection Rituals” dalam Interaksi
Psikologi positif menekankan pentingnya ritual kebersamaan yang bermakna.
🔹 Praktikkan:
  • Buat aturan kecil saat bersama: misalnya, “selama 1 jam ngobrol, ponsel disimpan.”
  • Lakukan check-in emosional di awal pertemuan, misalnya: “Gimana kabarmu hari ini, sungguh-sungguh?”

 5. Ciptakan “Mindful Tech Boundaries”
Mengatur batasan sehat dengan teknologi adalah bagian dari digital mindfulness.
🔹 Praktikkan:
  • Aktifkan mode "Do Not Disturb" saat makan atau bertemu orang.
  • Gunakan aplikasi yang membatasi akses ke media sosial di jam-jam tertentu.

Pilih Hadir, Bukan Sekadar Ada
Menghindari phubbing bukan sekadar soal menjauh dari ponsel, tapi soal memilih untuk hadir sepenuhnya dalam hidup dan hubungan. Dengan pendekatan mindfulness dan psikologi positif, Anda tidak hanya menghormati orang lain, tapi juga menyayangi diri sendiri — dengan cara yang hangat, sadar, dan bermakna.

Semoga bermanfaat

Tabik
-dewahipnotis-


BLANTERLANDINGv101
Formulir Kontak Whatsapp×
Data Anda
Data Lainnya
Kirim Sekarang