Sahabatku yang berbahagia, pernah nggak sih, kita merasa sudah melakukan segalanya? Memberi nasihat, menunjukkan jalan, bahkan sampai mendoakan, tapi orang yang kita coba bantu tetap saja nggak berubah. Rasanya kayak nendang bola ke gawang kosong tapi nggak gol-gol juga. Kesel nggak tuh?
Sabar Bro, nggak perlu BT. Markus Aurelius, seorang filsuf Stoicism yang hidup ribuan tahun lalu, sudah lama memberi kita pelajaran penting: kita hanya bisa mengontrol diri sendiri. Pikiran dan hati kita adalah wilayah kekuasaan kita. Tapi pikiran dan hati orang lain? Nah, itu sudah di luar kontrak kerja kita.
Bayangkan hidup ini sebagai sebuah lingkaran. Di dalam lingkaran itu ada hal-hal yang bisa kita kendalikan: cara kita berpikir, cara kita merespons, dan pilihan-pilihan yang kita buat. Di luar lingkaran, ada hal-hal yang benar-benar nggak bisa kita atur: cuaca, harga cabai di pasar, atau keputusan orang lain. Kalau kita terus-terusan fokus pada yang di luar lingkaran, ya capek sendiri.
Coba deh, pikirkan: berapa banyak energi yang kita habiskan untuk memikirkan hal-hal yang sebetulnya di luar kendali kita? Nggak jarang, kita terjebak mencoba mengubah orang lain, berharap mereka jadi lebih baik sesuai versi kita. Padahal, kalau dipikir-pikir, bahkan mengubah kebiasaan diri sendiri saja butuh usaha, apalagi mengubah orang lain!
Markus Aurelius mengingatkan kita untuk tetap melakukan kebaikan, tapi nggak perlu berharap hasil instan. Tugas kita adalah menabur benih. Apakah benih itu tumbuh atau nggak, itu urusan si tanah, hujan, dan cahaya matahari. Kalau kita terus mengawasi benihnya setiap hari sambil ngomel, “Kok belum tumbuh juga?” ya, percuma.
Begitu juga dalam hidup. Kadang kita hanya perlu memberi tahu, memberi contoh, atau bahkan sekadar hadir. Misalnya, kalau Anda sedang ngajarin teman buat lebih mindful, nggak perlu memaksa dia langsung duduk meditasi 30 menit kayak biksu di film. Cukup bilang, “Coba deh, tarik napas pelan-pelan. Rasakan udara masuk ke hidung.” Nggak usah ribet.
Melepaskan itu seni yang sulit tapi penting. Ini bukan soal menyerah, tapi soal paham bahwa ada batasan di mana peran kita berakhir. Orang yang nggak berubah bukan berarti kita gagal. Mungkin waktunya belum tepat. Atau mungkin dia butuh pengalaman lain untuk menyadari pentingnya perubahan.
Markus Aurelius bilang, "Hidup kita sebaiknya tidak bergantung pada pujian atau kritik orang lain." Jadi, kalau usaha kita nggak dihargai, ya sudah. Toh, kita tetap dapat pahalanya, kan? Dalam bahasa mindfulness, ini soal fokus pada proses, bukan hasil.
Bayangkan kalau kita punya kemampuan untuk mengontrol semua orang. Wah, dunia bakal kacau! Orang tua bakal memaksa anaknya jadi dokter, istri akan memaksa suaminya selalu setuju, dan bos akan memaksa karyawan selalu datang tepat waktu. Hidup bakal jadi seperti nonton sinetron 24 jam tanpa iklan: dramatis dan melelahkan.
Syukurlah, kita cuma manusia biasa. Kita nggak punya kekuatan super untuk mengatur segalanya. Jadi, kalau lagi merasa frustrasi karena orang lain nggak berubah, tarik napas dan ingat: mereka juga manusia dengan jalan hidupnya sendiri.
Jadi, apa yang bisa kita lakukan? Fokus memperbaiki diri. Jadilah contoh yang baik. Kalau ada orang yang terinspirasi, anggap itu bonus. Kalau nggak, ya nggak apa-apa. Seperti kata pepatah, "Kita tidak bisa mengubah arah angin, tapi kita bisa mengatur layar."
Hidup akan terasa lebih ringan kalau kita paham mana yang bisa kita kendalikan dan mana yang harus kita lepaskan. Lagipula, hidup sudah cukup rumit tanpa kita menambah beban yang nggak perlu. Setuju, kan?
Jadi, mulai sekarang, mari belajar fokus pada diri sendiri, melakukan kebaikan tanpa pamrih, dan menikmati proses. Kalau ada yang bilang, "Kenapa kamu santai banget?" bilang aja, "Aku sedang ngikutin Markus Aurelius." Biar kelihatan keren. Wkwkwk
Semoga bermanfaat
Tabik
-dewahipnotis-
The Storyteller Therapist