NaZaMWZcMGZ8LGZ7MGxaNGtaLDcsynIkynwbzD1c

Lho Kok Marah

BLANTERLANDINGv101
3034015059065731839

Lho Kok Marah

18/11/24



Pernahkah Anda marah kepada seseorang? Atau minimal kesal lah? Saya yakin pasti pernah. 

Kenapa saat itu Anda memiliki kekuatan untuk marah? Tak perlu keburu nafsu untuk menjawab. Ingat ingat saja dulu, terakhir kali Anda marah kepada siapa? Saya nggak nanya kenapanya. 

Mungkin saja sebagai atasan, karena bawahan Anda itu datang terlambat. Atau sebagai majikan, karena pembantu Anda itu memecahkan perabotan. 

Dan coba ingat lagi, bawahan dan atau pembantu yang Anda marahin itu cantik atau jelek? Bawahan dan atau pembantu itu Anda sukai atau tidak! Saya yakin pasti relatif jelek dan tidak Anda sukai. 

Apa yang akan Anda lakukan, jika bawahan dan atau pembantu itu cantik, lebih-lebih Anda tertarik kepadanya. Apakah Anda masih akan marah. Meskipun dia terlambat? Meski dia memecahkan perabotan? Saya yakin kok nggak. Padahal perilakunya sama. 

Atau Anda janjian ketemu seorang sahabat jam 8 pagi. Dan batang hidungnya baru nongol jam 9. Marahkah Anda? Bisa jadi ya. 

Tapi apa yang akan Anda lakukan, jika sahabat itu berjanji memberikan donasi atau meminjamkan uang kepada Anda. Masihkah Anda marah? Meskipun dia datang jam 12 siang, Anda pasti tetap akan menunggunya dengan penuh kesabaran. 

Sahabatku yang berbahagia, dari sini kita bisa mengambil sedikit kesimpulan. Kita marah kepada seseorang, hanya ketika kita memiliki kekuatan. Dan kekuatan itu bisa muncul ketika kita terbebas dari kepentingan pribadi. Marah itu muncul dari dalam diri kita, bukan karena perilaku pihak luar.


'Kita Marah Ketika Kita Merasa Memiliki Kekuasaan'

Dari sini, kita bisa menarik pelajaran penting: amarah sering kali lahir ketika kita merasa memiliki kekuatan untuk marah. Ketika kita tidak punya kepentingan yang terancam, atau merasa tidak perlu mengontrol situasi, kita cenderung bersikap lebih sabar. Artinya, amarah itu sebenarnya lebih terkait dengan kondisi batin kita, bukan semata-mata akibat perilaku orang lain.

Dalam Al-Qur'an, Allah berfirman, “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu... dan (bagi) orang-orang yang menahan amarahnya serta memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan” (QS. Ali Imran: 133-134). Ayat ini mengingatkan kita untuk menahan amarah dan memilih pemaafan, sebagai bentuk kasih sayang yang lebih tinggi daripada menuruti amarah.

Mempraktikkan Mindfulness untuk Memahami Amarah

Dengan mindfulness, kita diajak untuk mengenali perasaan amarah ini tanpa terhanyut di dalamnya. Ketika kita melihat amarah muncul, cobalah untuk sejenak berdiam diri dan bertanya: 

“Apa sebenarnya yang membuatku marah? Apakah aku sedang mencoba mengontrol situasi atau mengatasi perasaanku sendiri?” 

Pertanyaan ini bisa menjadi jembatan untuk membawa kita pada kesadaran bahwa emosi ini berasal dari dalam diri, dan kita punya pilihan untuk mengelolanya dengan bijak.

Sahabatku yang berbahagia, emosi seperti amarah hanyalah tamu yang datang dan pergi. Mereka tidaklah lebih kuat dari hati kita yang mampu memaafkan, memahami, dan berlapang dada. Jika kita bisa melampaui amarah dan melihat dengan belas kasih, kita akan mendapati bahwa ketenangan dan kebahagiaan sejati selalu ada dalam diri kita sendiri, menunggu untuk dihadirkan dalam setiap langkah hidup kita.

'Jadikan Amarah Sebagai Guru, Bukan Tuan'

Sahabatku yang berbahagia, amarah itu seperti api: ia bisa menghangatkan, tapi juga bisa membakar habis jika tak terkendali. Ketika kita memahami bahwa amarah muncul bukan karena situasi di luar, melainkan karena kondisi batin kita sendiri, kita mengambil alih kendali atas api itu. Alih-alih menjadi budak dari amarah, jadikanlah ia guru yang mengajarkan kelembutan dan pengendalian diri.

Saat berikutnya Anda merasa amarah mendidih, ingatlah bahwa kekuatan sejati bukan terletak pada ledakan emosi, melainkan dalam ketenangan jiwa yang mampu memilih pemaafan. Rasulullah SAW pernah bersabda, “Orang kuat bukanlah yang pandai bergulat, tetapi orang kuat adalah yang mampu menguasai dirinya ketika marah.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Jadi, pilihlah untuk menjadi pribadi yang kuat. Bukan kuat karena amarah yang berkuasa, tetapi karena hati yang mampu mengalahkan amarah dengan kasih sayang dan kebijaksanaan. Itulah kekuatan sejati, itulah jalan menuju kedamaian dan kebahagiaan yang hakiki.


Semoga bermanfaat 

Tabik
-dewahipnotis- 













BLANTERLANDINGv101
Formulir Kontak Whatsapp×
Data Anda
Data Lainnya
Kirim Sekarang