Segera kami 4 bersaudara berembug. Kami akan bawa Ma'e ke RS setelah urusan walimatus safar Pa'e selesai. Langsung kami bawa Ma'e ke puskesmas desa untuk mendapatkan pertolongan pertama kasus dehidrasi.
Melihat kondisi Ma'e, puskesmas desa hanya sanggup memberikan infus dan menyarankan untuk membawa Ma'e ke RS sore itu juga.
Kami berembug lagi. Walimatus safar tinggal sehari lagi. Tapi kondisi Ma'e juga perlu mendapatkan penanganan cepat. Akhirnya saya mengambil keputusan untuk membawa Ma'e ke RSUD Semarang. Mas Eko, Aang dan Rini kebagian tugas mensukseskan acara walimatus safar.
Kami langsung mencari ambulans. Koper yang belum sempat saya bongkar langsung berpindah tempat. Alhamdulillah, setelah ditangani dengan baik di IGD, jam 23 Ma'e mendapatkan ruang perawatan.
Jumat malam kondisi Ma'e berangsur meningkat. Pipi cekungnya memunculkan sedikit semburat merah karena cairan infus yang mulai memasuki aliran darahnya. Meskipun belum nyambung ngobrolnya, tapi alhamdulilah Ma'e sudah ingat anaknya.
Sabtu pagi Ma'e tetap belum bisa makan bubur sumsum menu RS. Siangnya pihak RS memutuskan untuk memasang selang melalui hidung untuk memasukkan zat nutrisi semacam susu. Belum juga makanan masuk, baru air yang dialirkan, terjadi tolakan berwarna merah kehitaman. Pihak RS menyatakan ada perdarahan di lambung Ma'e.
Tindakan selanjutnya adalah penyedotan darah dari lambung melalui selang tadi. Ma'e diwajibkan berpuasa sampai tidak ada lagi darah tersisa. Berapa lama? Tidak ada yang tahu. Setiap saya bertanya ke perawat, selalu disuruh menunggu keputusan dokter.
Semenjak pemasangan selang itu komunikasi dengan Ma'e semakin sulit. Lidah Ma'e seolah tertekuk ke belakang. Setiap mau berbicara, tidak ada satupun kata yang terucap sempurna. Hanya racauan semacam, hi hi, hay hu, heho yang keluar dari bibir Ma'e.
Sabtu malam kondisi Ma'e masih tetap sama. Karena semua tanda vital Ma'e dilaporkan bagus oleh pihak RS, maka hati saya bisa merasa tenteram. Suhu normal. Tensi bagus. Hasil Rontgen bagus. Saat itu di Sukorejo, acara walimatus safar sedang berlangsung.
Saya ajak bercanda Ma'e dengan bermain tebak kata, ketika suara racauan Ma'e keluar. "Hi hi," kata Ma'e. "Satu kata? Dua kata?" Saya merespon seolah sedang mengikuti kuis di TV.
"Hi hi" Begitu ucapan Ma'e terulang. "Pipis?" Tebak saya. Melalui sorot matanya, Ma'e menolak tebakan itu.
"Rini?""Betul," Senyum tipis di wajah Ma'e menjawab
"He ho," ujar Ma'e lagi.
Waduh apa lagi ya ini. Iseng saja saya jawab, "telpon"
"Iya," kembali mata Ma'e berbicara.
"Telpon Rini?"
Sebuah anggukan lemah tertangkap mata saya.
Sejurus kemudian saya lakukan vidcall ke adik bungsu saya. Ajaib, setelah mendengar suara Rini, Ma'e bisa tertidur. Tapi hanya sebentar. Sepanjang malam itu saya berusaha membujuk Ma'e agar tidur pulas. Kadang saya perdengarkan shalawat tibbil qulub. Dan Ma'e tertidur lagi. Cuma sebentar juga. Malam pun bergulir dini hari. Jam 2 saya menyerah. Saya coba berbaring di lantai sebelah tempat tidur Ma'e. Baru sejenak saya terlelap, saya bisa mendengar Ma'e berbicara normal. "Anyes. Kemuli (Ma'e kedinginan. Tolong selimuti)"
Terlonjak saya terbangun. Ma'e masih ber ha he ho. Tubuhnya juga masih terbalut selimut dari kaki sampai dada. Tangannya saja yang terbuka. Saya selimutkan jaket ke tangan sampai telinga. Berhasil. Ma'e tidur lagi. Hanya sebentar juga.
Azan subuh terdengar dari gawai saya. Maka saya putuskan untuk tidak kembali berbaring. Saya pijit-pijit telapak kaki Ma'e yang terasa hangat. Ma'e tertidur pulas. Agak lama kali ini. Mungkin memberi kesempatan saya menjalankan sholat subuh.
Jam 5, perawat yang bertugas mengelap tubuh pasien datang. Ma'e masih tertidur. Saya keluar ruangan dan memulai kebiasaan saya. Menulis artikel ini. Kembali ke ruangan, saya tidak mendengar haheho lagi. Ma'e masih tertidur pulas. Bahkan sampai jam 9 pagi pun, Ma'e masih pulas. Mungkin terlalu lelah karena semalaman tidak bisa tidur, pikir saya.
Saya pergi ke ruang perawat untuk menanyakan sampai kapan Ma'e harus berpuasa. Tunggu pendapat dokter. Itu jawaban yang saya terima.
"Tapi kondisi Ma'e aman kan Mbak?" tanya saya.
"Aman. Kan masih ada infus," jawab perawat singkat.
Jam 11 an, dokter syaraf yang ditugaskan menangani Ma'e melakukan visit. Dia mengabarkan bahwa Senin akan dilakukan tindakan. Siang itu cairan nutrisi akan mulai dimasukkan melalui selang. Akhirnya dapat jawaban.
Sekeluar rombongan nakes itu dari ruang perawatan, kantuk saya tak tertahankan lagi. Ma'e masih tidur pulas. Maka saya membaringkan diri, mencoba menebus tidur tadi malam yang tak tertuaikan.
Jam 12 an saya terbangun karena Mas Eko sampai ke rumah sakit. Acara walimatus safar berjalan sesuai rencana, katanya. Alhamdulillah. Dia memberikan speaker murotal yang saya minta bawakan dari rumah. Setelah memutar juz pertama, dan meletakkan speaker tadi di samping bantal Ma'e, saya bersiap untuk mandi.
Melewati ujung tempat tidur Ma'e, saya melihat telapak kaki Ma'e tersembul tanpa kaus kaki. Saya agak kaget ketika menyadari telapak kaki Ma'e terasa dingin. Maka saya luluri telapak itu dengan minyak kayu putih, kemudian memakaikan kaus kakinya. Saya pegang betis dan dahi Ma'e masih terasa hangat. Saya pegang nadinya masih ada. Amaaan, pikir saya. Maka saya bersiap untuk mandi.
Saya bukan termasuk orang yang suka berlama-lama di kamar mandi. Mungkin hanya 5 menit saya bebersih badan, sudah termasuk mengambil air wudhu. Keluar kamar mandi, saya memakai sarung, bersiap menjalankan shalat dhuhur. Mas Eko sudah keluar kamar karena jam sudah menunjukkan angka 13. Waktu bezoek sudah selesai.
Mata saya agak curiga menyadari tidur Ma'e yang terlalu pulas itu. Kembali saya cek nadi di pergelangan tangan kanannya. Tidak ketemu. Pergelangan tangan kiri nihil. Saya pegang dahi Ma'e masih hangat.
Setengah berlari saya menuju ke ruang perawat untuk mengabarkan temuan saya tadi. Seorang perawat bergegas mengecek kondisi Ma'e. Saya meneruskan niat menjalankan shalat dhuhur. Kembali ke ruang perawatan, saya melihat seorang perawat wanita sedang melakukan CPR. Berusaha mengembalikan denyut jantung Ma'e. Saya telpon Mas Eko untuk kembali ke RS.
Seorang dokter memberi tahu bahwa Ma'e mengalami henti jantung. Dan mereka minta izin untuk melakukan usaha pengembalian detak jantung dengan segala risikonya.
"Lakukan yang terbaik untuk Ma'e. Pagi tadi pihak Anda menyatakan bahwa kondisi Ma'e aman" Saya masih belum merasa kehilangan Ma'e, meskipun kode biru sudah disuarakan melalui pelantang suara oleh pihak RS. Dengan alat seadanya, seorang dokter dan beberapa perawat melakukan CPR.
Saya dan Mas Eko berdoa di luar ruangan. Harap harap cemas.
Setelah berusaha beberapa saat, pukul 13.55 wib menyatakan bahwa Ma'e sudah berpulang karena henti jantung. Saya menghambur ke tempat tidur Ma'e dan melihat Ma'e masih tersenyum dalam tidurnya. Badannya masih hangat, cenderung panas. Saya bisikan di telinganya, "Asyhadu an laa ilaaha illallaahu. Wa asyhaduanna muhammadar rasuulullah.
Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah. Dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah. Ma'e pulanglah ke surga Allah. Aku sudah ikhlas. Ma'e sudah tidak sakit lagi"
Setelah beberapa waktu berjuang demi bisa pergi ke baitullah (baca Ma'e Caper Part 1 & 2), kini Ma'e benar-benar Caper. Ma'e *Capai Peristirahatan* terakhirnya.
Kami, anak-anak Ma'e bersaksi bahwa *Ma'e Ngatiyam binti Parto Atemo* adalah ibu yang sangat luar biasa. Ibu yang telah melahirkan dan membesarkan kami sehingga bisa menjadi orang yang bermanfaat untuk sesama.
Hari itu juga, bakda Maghrib kami kembalikan Ma'e kepada Allah. Banyaknya iringan pelayat yang mengantarkan Ma'e ke peristirahatan terakhirnya, membuktikan bahwa Ma'e memang orang baik.
Terimakasih untuk sahabat, saudara, handai taulan yang sudah mendoakan kesembuhan Ma'e. Saya yakin itu semua tanda sayang Anda semua untuk Ma'e. Kita semua bisa berusaha, namun Allah lebih menyayangi Ma'e.
Mohon dimaafkan semua kesalahan Ma'e semasa hidupnya. Mohon doanya agar dilapangkan kuburnya.
Wahai penjaga pintu surgaku, tolong pegang kunci itu, dan berikan kepadaku ketika saatnya tiba nanti.
Innalilahi wa innailaihi rajiuun.
Tabik
Anak-Anak Ma'e
Mendadak Piatu