Menurut Charles Tebbet, pikiran bawah-sadar manusia dapat diprogram melalui lima cara.
Pertama, dengan pengulangan (repetisi). Sebuah ide yang diulang-ulang akan masuk ke bawah sadar. Ini adalah cara yang lambat namun pasti untuk memasukkan sebuah ide ke pikiran bawah sadar.
Kedua, dengan pendekatan figur yang memiliki otoritas. Ide yang disampaikan oleh figur berotoritas akan mudah masuk dan menetap dalam pikiran bawah sadar.
Ketiga, identifikasi. Saat kita ingin diakui oleh teman (keluarga atau kelompok) tertentu, kita cenderung mengikuti apa kata teman kita tersebut.
Keempat, emosi yang intens. Sebuah ide yang dimasukkan dalam kondisi emosi yang intens akan mudah menetap di pikiran bawah sadar.
Kelima, hypnosis. Dengan hypnosis, kita mampu menembus pikiran sadar dan memasukkan ide ke pikiran bawah sadar dengan mudah.
Saya yakin semua praktisi hipnosis, apalagi yang sudah memasang embel-embel CHt di belakang namanya sangat mahfum dengan pemahaman ini. Namun sayangnya acap kali pemahaman ini tidak sesuai dengan praktek di lapangan.
Dari mana saya bisa mendapatkan kesimpulan di atas? Dari pertanyaan beberapa kawan terapis mengenai teknik apa yang cocok untuk kasus tertentu. Juga dari cerita klien saya yang sebelumnya pernah mendapatkan layanan terapi dari terapis lain.
Kebanyakan pola pikir kawan terapis ini masih mirip dengan pola pikir nakes (tenaga kesehatan) di mana sudah ada standar baku penanganan sebuah simptom (gejala). Di dunia medis memang sudah ada aturan-aturan dasar yang mengikat, misal gejala demam akan ditangani dengan preparat. antipiretik, nyeri diatasi dengan analgesik, infeksi bakteri disembuhkan dengan antibiotik. Satu lagi ciri khas nakes adalah penggunaan otoritas tinggi, kadang bersifat tunggal terhadap pasiennya. Ada juga sih nakes yang persuasif, namun jumlahnya tidak banyak.
---
Sahabatku yang berbahagia, beberapa waktu yang lalu saya menangani satu kasus yang lumayan menantang. Dari in take interview yang saya dapatkan, klien adalah seorang nenek berusia 70 tahun yang berprofesi sebagai uztadzah. Situasi yang dihadapinya adalah rasa kecewa yang sangat mendalam terhadap kehidupan yang tidak sesuai dengan rencananya.
Ujung dari situasi yang sedang dihadapinya ini memunculkan kondisi helpless, worthless dan hopeless, bahkan berakibat insomnia dan psikosomatis. Outcome dari sesi tersebut adalah perasaan tenang, bisa tidur dan syukur-syukur psikosomatis-nya bisa ikut tertangani.
Menghadapi tipe klien seperti ini tentu saja saya tidak akan bisa menggunakan cara kedua, yaitu menjadi figur yang memiliki otoritas terhadap klien yang secara usia dan pemahaman agama (minimal menurut pendapat klien) berada jauh di atas saya.
Saya juga tidak mungkin memakai cara nomor 5, karena dari awal klien tersebut sudah berpesan untuk tidak dilakukan hipnosis. Bisa jadi dia sudah terpapar informasi negatif mengenai hipnosis.
Pilihan yang tersisa adalah repitisi, identifikasi dan emosi intens. Dengan cepat pikiran saya berputar dan saya mengambil pilihan ketiga. Saat kita ingin diakui oleh seseorang (keluarga atau kelompok) tertentu, kita cenderung mengikuti perilaku seseorang tersebut. Dalam NLP (Neuro Linguistic Programming), hal ini disebut pacing (menyelaraskan).
Maka langkah pertama yang saya lakukan adalah menanyakan apa panggilan sayang klien tadi di rumah. Karena beliau orang jawa, dan dipanggil Yangti (Eyang Putri) maka saya minta ijin juga menyapa dengan panggilan Yangti.
Setelah itu saya persilakan beliau untuk menyampaikan situasi yang dialaminya. Karena pandemi covid belum berlalu maka beliau duduk lebih kurang 3 meter di depan saya, tetap mengenakan maskernya. Dengan gegap gempita dan penuh perasaan, beliau menyampaikan ganjalan hatinya. Bagaikan senapan uzi yang mampu menembakkan ratusan peluru per menit, seluruh kegundahan hati beliau juga tercurah dengan cepat dan terarah. Sebagai seorang ustadzah, terkadang tersitir juga satu dua ayat suci Al Quran.
Emosi yang muncul juga bergantian dengan cepat, kadang marah, jijik, sebentar kemudian sedih, dan bisa muncul rasa takut juga dengan mudah. Dan semua emosi silih berganti tadi beliau keluarkan sepanjang 5 jam! Mulai sesi bakda shalat dhuhur dan selesai menjelang maghrib, hanya dijeda shalat ashar saja.
Apa yang saya lakukan selama itu? Hanya mendengarkan, dengan teknik emphatic listening. Saya mendengarkan untuk memahami perasaan klien, dan sesekali mengajukan pertanyaan untuk melakukan kalibrasi atas situasi yang sedang dialami oleh klien tersebut.
Saya duduk dengan posisi tubuh condong ke depan, untuk menunjukkan bahwa saya peduli. Saya buka masker saya sehingga ekspresi wajah saya bisa terlihat dengan jelas, dan jempol kanan saya sesekali terarah kepada klien, sembari mulut saya berujar, "Inggih, leres"
Mungkin Anda bertanya-tanya, bagaimana saya bisa bertahan dalam posisi tersebut selama 5 jam! Kembali ke teknik identifikasi, maka selain panggilan sayang yang ikut saya gunakan, saya juga menyelaraskan bahasa klien dan berkomunikasi menggunakan bahasa jawa halus (kromo inggil). Rahasia kecilnya adalah, dengan berlaku seperti ini saya merasa yang sedang berada di depan saya adalah ibu saya sendiri.
Untuk sosok yang sudah melahirkan dan membesarkan saya, jangankan 5 jam, 1000 tahun juga akan saya jabanin!
Dan setelah puas bercerita, Yangti kemudian berkata, "Nah, sudah lega sekarang. Apa yang harus saya lakukan sekarang?"
"Yangti sudah siap saya bantu?" Setelah 5 jam, akhirnya saya berkesempatan menyampaikan hal ini. Sudah menjadi prosedur saya, bahwa saya hanya akan melakukan terapi ketika klien sudah bersedia dibantu.
"Siap Mas Hari. Tapi saya enggak mau dihipnosis ya?"
"Enggak kok Yangti, saya tidak bisa melakukan hipnosis. Ini relaksasi saja. Mau di sofa ini saja, atau di tempat tidur?"
"Di sini tidak enak. Di kamar saja ya?"
Ditemani oleh 2 orang putrinya, saya membimbing klien untuk melakukan mindful breathing dan memberikan sugesti relaksasi sederhana. Kurang dari 5 menit nafas klien sudah terdengar sangat teratur, bahkan ada dengkuran halus di sela-sela nafas tersebut. Saya mengajak putrinya keluar kamar untuk memberi kesempatan kepada Yangti beristirahat.
Alhamdulillah, saya mendapatkan kabar bahwa kondisi klien semakin membaik dari hari ke hari. Dan di sinilah saya merasa bahagia.
Sahabat terapis yang berbahagia, jika suatu saat nanti Anda mendapatkan kasus serupa, selalu ingatlah bahwa ketika kita tidak berhasil menggunakan satu cara, jangan menyerah, cobalah cara yang lain.
Ingat, Tebbet mengajarkan kita 5 cara untuk melakukan intervensi kepada pikiran bawah sadar, maka manfaatkan cara-cara tersebut.
Semoga bermanfaat
Tabik
-haridewa-
Happy Counselor