NaZaMWZcMGZ8LGZ7MGxaNGtaLDcsynIkynwbzD1c

MINDFUL OUTCOME

BLANTERLANDINGv101
3034015059065731839

MINDFUL OUTCOME

06/12/21


Alhamdulillah setelah sekian lama bertapa di Padepokan Cafe Therapy karena pandemi, dan disibukkan dengan kelas-kelas daring, akhir tahun 2021 ini saya kembali akan membersamai peserta pelatihan secara offline.

Lokasinya pun lumayan jauh dari Bogor, yaitu Surabaya. Qodarullah, beberapa hari ini sorotan netizen sedang berfokus ke seputaran Jawa Timur, dikarenakan erupsi gunung Semeru. Untunglah penerbangan ke Surabaya masih dibuka, meski informasi mengenai erupsi ini kian gencar setiap harinya.

Semua orang tetiba saja berlomba ingin menjadi yang pertama dalam menyebarkan info terkini dari Semeru. Sah-sah saja sih, selama etika jurnalisme tetap dijaga, yaitu tidak menyebarkan gambar-gambar korban tanpa melakukan sensor.

Saya tidak akan berpanjang lebar ikut memberitakan kabar ini, namun justru mengajak Anda untuk mendoakan agar para korban diberikan ketabahan dan semoga musibah ini segara tertangani dengan baik. Jika kita punya rejeki lebih, ada baiknya memberikan bantuan melalui saluran terpercaya.  End of news.
---

Sahabatku, menurut pendapat saya sebagai 'mantan' pendaki gunung, Semeru atau lebih dikenal di kalangan pendaki gunung dengan nama Mahameru, merupakan salah satu gunung dengan track yang lumayan menantang. Dengan tinggi Puncak Mahameru 3.676 mdpl, Gunung Semeru menjadi gunung tertinggi di Pulau Jawa.

Untuk mampu menaklukkan puncak dan melihat kawah Jonggring Saloka diperlukan perjalanan paling tidak 2 hari 1 malam. Terdapat 4 pos sebelum sampai ke puncak, yaitu Pos 1 di Blok Landengan Dowo, Pos 2 & 3 di Blok Watu Rejeng, dan Pos 4 di Ranu Kumbolo.

Sudah banyak pendaki gunung yang mengakui keindahan pemandangan di puncak gunung Semeru, namun tak kurang juga mereka yang tewas dalam perjalanan mencapai puncak tersebut.

Kadang muncul pertanyaan di benak saya, sebenarnya apa tujuan dari para pendaki gunung ini?

Sahabatku, Anda boleh ikut merenung sejenak dan membantu saya memberikan jawaban.

Sambi merenung, saya akan kutipkan sebuah teori yang dikemukakan oleh Paul Stoltz, ahli masalah “ketahanan manusia” _(human resilience)._ Ia juga dikenal sebagai pendukung teori _“Adversity Quotient”_ (AQ).

_“Everyone faces adversity. The difference is how people handle it”._

Setiap orang menghadapi kesulitannya masing-masing, yang membedakan adalah bagaimana cara mereka menyikapinya.

Stoltz adalah seorang pendaki gunung tangguh. Tak heran kalau dia menggunakan istilah _mountaineering_ untuk menggolongkan manusia menjadi 3, yaitu quitters, campers dan climbers.

Masih menurut Stolkz, _Quitters_ dijulukkan kepada mereka yang  mudah mengeluh, suka protes dan selalu tak puas dengan keadaan di sekelilingnya.

Sementara _Campers_ awalnya pekerja keras.  Sampai  kemudian menemukan “dataran hidup” yang aman dan nyaman.

Ketika sudah menikmati “kepuasan”, meski dengan level yang relatif rendah,  kemudian berhenti.  Mereka “berkemah” di sana.   Biasanya keterusan, sampai lupa atau malah membatalkan  pendakian.

Puncaknya adalah manusia _Climbers._  Mereka pantang menyerah.  Tak pernah berhenti belajar dan berkembang.  Tujuan hidupnya selalu  naik.  Targetnya terus bergerak. Terus dikerek, dan langit menjadi batasnya.
---

Bagaimana sahabatku, apakah Anda sudah menemukan jawaban atas pertanyaan saya tadi? Apa jawaban Anda?

1. Mencapai puncak?
2. Menikmati keindahan pemandangan puncak?
3. Tadabur alam?

Sebagian dari Anda yang menjawab no 1, itu karena pengalaman sebagai pendaki gunung, atau terinspirasi oleh Stolkz?

Yah, apapun alasan Anda, dulu saya juga berpendapat sama, bahwa tujuan seorang pendaki gunung adalah mencapai puncak!

Analogi climbers di sini adalah mencapai posisi setinggi mungkin, belajar ilmu sampai 'mentok', mengejar kekayaan sebanyak mungkin. Sekali lagi, langit adalah batasannya.

Namun seiring bertambahnya usia saya, dan semakin banyak keilmuan yang saya pelajari, utamanya setelah mendalami ilmu mindfulness, saya mendapatkan jawaban 'beyond' mencapai puncak. Saya yakin Anda juga pasti akan setuju dengan saya, apalagi jika Anda adalah pendaki gunung sejati.

Sejatinya, ultimate goal para climbers adalah *pulang sampai rumah dengan selamat!* Betul apa betul?

Kita ini adalah makhluk spiritual yang sedang bertamu ke bumi. Jika kita berada di bumi sebagai tamu, lalu di mana sebenarnya rumah tempat kita pulang?

Tanpa perlu saya jelaskan, Anda tentu sudah tahu bahwa sejatinya rumah kita ada di akhirat. Apapun agama Anda, tentu Anda akan memahami konsep surga dan neraka di akhirat nanti. Maka, pulang dengan selamat setelah kita lelah 'mendaki gunung kehidupan' adalah raudhatul jannah atau surga firdaus.

Dan Anda semua pasti tahu apa syarat utama untuk masuk surga, yaitu mesti mati dulu.
---

Sahabatku, betapa banyak orang di sekeliling kita yang sangat takut kehilangan sesuatu. Bisa berupa harta, tahta, cinta atau bahkan nyawa.

Saat menulis artikel ini, saya sedang berada di ketinggian 30 ribu kaki, di dalam pesawat yang membawa saya menuju Surabaya. Berada di dalam pesawat yang terkadang mengalami guncangan mampu membuat nyali kita rontok berguguran. Bahkan ada beberapa orang yang tidak berani naik pesawat. Alasannya jelas, takut mati.

Bagaimana kita bisa pulang, kalau tidak berani turun? Batasan manusia nantinya bukanlah langit, melainkan tanah. Ukurannya pun hanya 2x1 m.

Maka agar kita 'berani mati', berikut ini saya kutipkan satu pemahaman menarik mengenai kematian dari buku Psikologi Kematian karya Komaruddin Hidayat

Kenapa bayi yang baru lahir kok menangis?
Karena dia mengalami ketakutan ketika berpindah alam, dari rahim ibunda yang sudah nyaman selama 9 bulan keluar ke dunia yang masih sangat asing bagi dirinya.

Seiring dengan berjalannya waktu maka sang jabang bayi ini akan beradaptasi dengan dunia barunya, untuk kemudian justru semakin mencintai dunia dengan segala isinya. Di sinilah proses pendakian tadi terjadi.

Itulah sebabnya mereka kemudian mengalami 'rasa takut mati', karena tidak ingin mengulangi ketakutan saat berpindah tempat dari rahim ibu ke dunia ini.

Untuk mengatasi 'rasa takut' tadi, coba pahami psikologi kematian di bawah ini:

1. Berani Mati
- Semakin takut mati maka kita akan semakin stress.
- Meski hidup namun kita tidak seperti hidup, karena senantiasa dilingkupi ketakutan.
- Mati itu sejatinya bertemu dengan Sang Kekasih, jadi bergembiralah.

2. Boleh bersedih dan menangis ketika ditinggal pergi orang yang kita cintai, asal ridho (tidak boleh mengeluh)

3. Menyiapkan diri untuk mati, karena mati bisa tiba kapan saja

Yang perlu dipersiapkan dalam menghadapai kematian, adalah bagaimana kita membalikkan  suasana saat kelahiran. Jika suasana kelahiran, si jabang bayi menangis sedangkan orang-orang di sekelilingnya tersenyum bahagia.

Saat kematian, harus dibalik, kita yang meninggal dalam kondisi tersenyum, dan orang lain di sekeliling menangis haru karena kita tinggalkan.

Saya banyak mendapatkan pemahaman Gratefullness, God Lovefulness, bahkan Loving Kindness ketika mendalami keilmuan mindfullness beberapa waktu yang lalu.

Saya yakin dengan berbekal mempraktekkan ketiga pemahaman tadi, suasana kematian seperti di atas bisa kita dapatkan.

Wallahualam bisawab

Tabik
-haridewa-

Happy Counselor
www.thecafetherapy.com

BLANTERLANDINGv101
Formulir Kontak Whatsapp×
Data Anda
Data Lainnya
Kirim Sekarang