Seorang penyidik sedang menginterogasi seorang wanita yang menjadi tersangka KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) kepada suaminya. Si suami babak belur sampi bibirnya nyonyor dipukulin si istri.
Begini hasil wawancara singkat tersebut
Penyidik: "Apakah yang dikatakan suami kepada Anda pagi itu?"
Tersangka: "Sekarang sudah jam berapa, Diana?'"
Penyidik: "Lalu mengapa Anda menjadi marah dan memukul suami Anda hanya karena pertanyaan seperti itu?"
Tersangka: "Karena nama saya adalah Susan."
Bhuahahahaha
*********
Sahabat pembelajar yang berbahagia, Anda boleh tertawa ngakak sampai sakit perut kalau belum pernah mengalami peristiwa seperti suami tersebut. Namun bagi yang sudah pernah mengalami, pasti hanya akan tersenyum kecut.
Beberapa tahun yang lalu seorang pakar NLP dari NLP University pernah berkata bahwa cara paling sederhana menjalin kedekatan dengan seseorang (Building Rapport) adalah dengan tidak merusak hubungan yang sudah ada.
Lalu apa manfaat dari Building Rapport itu sendiri?
Jika dianalogikan sebuah rumah, Building Rapport ibarat anak kunci yang berfungsi untuk membuka pintu tanpa merusaknya, sehingga kita bisa masuk ke dalam rumah dengan aman dan damai.
Dalam sebuah hubungan, manfaat Building Rapport adalah untuk mendapatkan TRUST. Dan ketika kepercayaan sudah kita peroleh maka kita bisa melakukan tindakan yang namanya LEADING. Rumusnya sederhana saja:
BUILDING RAPPORT --> TRUST --> LEADING
Dalam kasus KDRT di atas, sang suami jelas merusak hubungan yang sudah ada gegara salah menyebut nama istrinya. Konsekuensi logisnya adalah hilangnya kepercayaan sang istri (distrust), maka alih-alih sang suami bisa me-lead istrinya, dia malah menjadi korban KDRT.
***
Sahabat pembelajar yang berbahagia, beberapa tahun yang lalu saya pernah menangani klien seorang anak lelaki kelas 6 SD yang menurut laporan guru di sekolah dia adalah anak yang 'nakal'. Dia senang mem-bully kawan-kawannya, cenderung ribut saat pelajaran, bahkan kadang berani melempar kapur ke depan saat guru sedang menulis di papan tulis.
Menurut ibunya, anak ini justru cenderung pendiam dan suka mengurung diri di kamar. Dia juga jarang berulah, dan selalu berusaha menaati peraturan rumah.
Namun sang ibunda tidak bisa menafikan laporan dari sekolah, karena tidak mungkin pihak sekolah mengarang cerita bohong mengenai perilaku anaknya tersebut.
Mendengar situasi sang anak seperti itu, maka saya meminta kehadiran klien tersebut dengan didampingi oleh kedua orangtuanya.
Saat intake interview dilakukan, anak tersebut memang terlihat sangat sopan, meski agak gelisah. Dia menjawab pertanyaan saya dengan baik dan lancar. Bahkan ketika saya minta dia menggambarkan siapa dirinya, dia bisa mengatakan bahwa dirinya adalah anak baik dan penurut. Dan hal itu dikonfirmasi oleh kedua orangtuanya. Kalaupun ada hal yang agak aneh menurut saya adalah, setiap kali mau menjawab pertanyaan, dia selalu menatap ke arah ayahnya, seolah minta persetujuan.
Atas ijin orangtuanya, saya membawa klien ke dalam kondisi hipnosa. Setelah melatihnya untuk melalukan komunikasi verbal dalam kondisi hipnosa, saya mengajukan beberapa pertanyaan:
"Kakak, sekarang Kakak bisa menceritakan apa pun dengan aman. Tidak ada seorang pun yang bisa memaksa atau bahkan melarang Kakak untuk bercerita. Apakah Kakak sudah siap bercerita?"
"Iya Om," jawabnya dengan suara lirih
"Baik. Terimakasih atas kesediaannya Kakak. Menurut ibu guru di sekolah, Kakak sering melakukan kenakalan, apakah betul?"
"Enggak kok Om," jawabnya masih dengan suara lirih
"Kalau mengganggu teman sekelas apakah pernah?"
"Pernah"
"Kakak juga sering ribut, ngobrol saat pelajaran. Apakah betul?"
"Betul"
"Melempar kapur"
"Pernah"
"Nah Kakak, sebenarnya apa niat baik dari semua perilaku tadi?"
Diam sesaat. Terdengar isakan tertahan dari klien tersebut. "A..., aku benci Papa. Aku enggak suka dipanggil Tole. Namaku bukan Tole. Papa jahat. Papa juga sering membuat Mama nangis. Papa jahat"
Kedua orangtua yang sudah saya ijinkan masuk ketika klien sudah berada dalam kondisi hipnosa tentu sangat terkejut campur takjub dengan celoteh sang anak yang seolah sedang tertidur tersebut. Saya memberi isyarat untuk tetap tenang, dan tidak mengeluarkan suara sedikit pun karena saya melihat sang ibunda mulai ikut terisak.
"Baik, terimakasih untuk kejujurannya Kakak. Jadi apa yang Kakak inginkan sekarang, agar perilaku kurang baik di sekolah itu bisa diubah?"
"Aku mau dipanggil Roy (bukan nama sebenarnya), bukan Tole."
"Baik anak pinter. Ada lagi?"
"Papa enggak boleh membuat Mama nangis lagi!"
"Ada lagi?"
"Udah"
"Baik Kakak Roy, jadi kalau mulai sekarang dan seterusnya Papa, Mama dan orang lain tidak memanggil Kakak dengan Tole, melainkan Roy sesuai nama Kakak. Kemudian Papa membuat Mama bahagia, tidak menangis lagi, Kakak bersedia mengubah perilaku yang kurang baik selama di sekolah?"
"Ya. Aku anak baik. Aku tidak nakal"
Sejenak saya tinggalkan klien di dalam ruang terapi, dan saya ajak kedua orangtuanya berbicara di luar ruang terapi. Inti dari pembicaraan tersebut adalah bahwa sang ayah mesti mau mengalahkan egonya dan berjanji untuk mengubah perilakunya juga.
Dan setelah mendapatkan komitmen dari orangtuanya, saya ajarkan mereka untuk menyusun sugesti positif, yang kemudian akan mereka sampaikan kepada Ananda. Karena sebaik-baiknya terapis sebenarnya adalah orangtua sendiri.
Singkat cerita setelah sesi sugesti dari orangtua selesai, saya tinggal mengunci komitmen perubahan dari Roy, dan tentu saja saya juga melakukan terminasi plus amnesia mengenai sesi tersebut. Maka selepas sesi terapi, terjadi perubahan perilaku pada orangtuanya, yang membuat perubahan perilaku juga pada Roy, tanpa Roy pernah merasa diterapi. Happy ending for everyone.
Sahabat pembelajar yang berbahagia, maka pesan saya kepada Anda semua, jangan pernah memanggil anak Anda dengan sebutan yang tidak dia sukai, meski itu lucu. Kecuali Anda ingin mereka bertingkah aneh yang tidak Anda inginkan. Dan jangan pernah panggil istri Anda Diana, kecuali Anda ingin bibir Anda juga nyonyor, wkwkwk.
Semoga bermanfaat
Tabik
-haridewa-
Happy Counselor