Pada dasarnya manusia adalah makhluk bawah sadar. Aktifitas yang terjadi selama 24 jam dalam sehari lebih banyak digerakkan oleh pikiran bawah sadar. Dalam tulisan sebelumnya, sudah saya sampaikan definisi PBS, yaitu segala perilaku yang meski tidak diniatkan, namun tetap terjadi.
Jika kita mau mencermati, maka selama waktu yang kita miliki, yaitu 24 jam dalam sehari, Anda akan setuju dengan saya, bahwa lebih banyak perilaku atau aktifitas yang autopilot. Ini di luar kondisi tidur, dan otomasi organ otonom seperti jantung, otot polos dan beberapa bagian tubuh otonom lain ya.
Ketika kita ingin berpindah tempat dari satu lokasi ke lokasi lain, cara paling normal yang dilakukan adalah dengan berjalan. Nah, proses pergerakan mulai dari telapak kaki, tungkai, persendian lutut, sampai pangkal paha kita, itu pun terjadi dalam kondisi bawah sadar.
Eits, jangan protes dulu. Memang betul perpindahan tersebut diniatkan. Misal Anda bergerak dari kamar menuju dapur karena haus. Ada niat pergi ke dapur untuk mengambil segelas air. Itu memang dikendalikan oleh pikiran sadar. Namun coba cermati sekali lagi, apakah pergerakan semua otot, tulang dan persendian Anda dalam rangka berpindah lokasi tadi masih perlu Anda niatkan satu persatu? Atau sudah auto pilot?
Otak manusia membutuhkan energi yang sangat besar untuk melakukan sebuah operasi. Bahkan ketika operasi itu hanya sebuah hal sederhana, yaitu memilih minuman di pagi hari. Untuk itulah otak kemudian membuat sistem, yaitu pikiran sadar dan pikiran bawah sadar.
Dan demi efiensi energi, pikiran sadar hanya akan mengurusi hal-hal baru atau yang berbau pembelajaran. Setiap operasi yang berulang dan dilakukan dengan intensitas tinggi, serta tidak membutuhkan proses pembelajaran lagi, programnya akan dipindahkan ke PBS.
Bagi anak kecil usia 9 bulanan, maka peristiwa perpindahan dari satu lokasi ke lokasi lain dengan cara berjalan tegak akan dikendalikan oleh pikiran sadar. Maka terkadang dia masih akan terjatuh. Bukan hanya anak kecil, mereka yang pernah mengalami kecelakaan, atau stroke atau polio seperti Erickson, juga membutuhkan proses belajar untuk bisa berjalan dengan tegak kembali.
Maka proses penggunaan PS kembali terulang dalam kasus ini. Itulah kenapa Erickson sangat paham dengan fenomena keseharian yang didominasi oleh PS atau PBS. Berdasarkan pengamatan-pengamatan yang jeli itulah, Erickson berhasil menyelesaikan kasus-kasus rumit yang tidak mampu dikerjakan oleh terapis lain. Pendekatan pengamatan dan pembelajaran inilah yang kemudian kita kenal sebagai teknik Ericksonian. Kata kunci dari teknik Ericksonian adalah tercapainya tujuan terapi, kepekaan inderawi dan fleksibilitas dalam pembelajaran.
Dengan semua keterbatasan yang dimilikinya, Erickson tidak pernah merasa gagal. Yang ada dalam benaknya adalah belajar dan belajar. Tidak pernah ada teknik yang salah di matanya, yang ada hanya efektif atau tidak.
Sebagai praktisi Ericksonian Therapy, hal seperti itu pula yang saya lakukan. Bagaimana dengan Anda?
Tabik
-haridewa-
Ericksonian Therapist