NaZaMWZcMGZ8LGZ7MGxaNGtaLDcsynIkynwbzD1c

PSYCHOLOGICAL CONSTRUCTION OF REALITY

BLANTERLANDINGv101
3034015059065731839

PSYCHOLOGICAL CONSTRUCTION OF REALITY

23/02/21


Suatu sore sepasang pasutri sedang bercengkerama di teras rumah mereka. Di sela-sela canda tawa mereka, sang istri menunjukkan iklan jilbab di gadgetnya yang menunjukkan tiga perempuan cantik mengenakan jilbab warna warni.
"Pah, lucu-lucu ya?", tanya sang istri dengan manja
"Iya, lucu-lucu tuh", jawab suaminya asal-asalan.
"Pilih yang mana ya Pah?", tanya sang istri lagi bersemangat merasa mendapat perhatian suaminya
"Yang tengah tuh Mah, cantik banget!", jawab sang suami tak kalah semangat
"Jilbaaabnya Papaaaah!", teriak sang istri, menyadari suaminya melotot melihat foto perempuan cantik di gadgetnya.

Wkwkwkwk, yang tertawanya paling keras itu pasti pernah mengalami fragmen di atas!
***

Sahabat pembelajar yang berbahagia, fragmen di atas hanyalah rekaan saya belaka, namun saya yakin beberapa di antara Anda pernah mengalaminya, meski kontennya tidak sama persis. Yang justru menjadi pertanyaan adalah, kenapa peristiwa salah-sambung seperti fragmen di atas kok bisa terjadi?

Pada abad 17, seorang filsuf empirisme bernama John Locke mencetuskan istilah Tabula Rasa. Dalam bahasa latin, Tabula Rasa adalah kertas kosong yang menggambarkan kondisi pikiran manusia ketika dilahirkan.

Pertama kali manusia menghirup udara di dunia, manusia ibarat kertas kosong ataupun kanvas putih, yang siap dicoret dengan berbagai pengalaman hidup. Kita bisa melukiskan apapun dalam setiap perjalanan hidup kita. Tentunya, kita akan lebih menyukai lukisan penuh warna, dibandingkan dengan lukisan hitam putih.

Setiap pikiran yang melekat di kepala kita, diperoleh dari setiap pengalaman hidup, dikumpulkan melalui panca indera, sedikit demi sedikit, dan diinternalisasikan ke dalam diri, melekat dalam tubuh, tersimpan dalam memori otak dan bisa membentuk karakter kita.

Warna-warni kehidupan kita disebabkan oleh mayoritas faktor internal, sebab kitalah yang memilih jalan hidup kita. Adapun faktor-faktor eksternal, hanyalah rangsangan untuk kita dalam berpikir, dan kita memiliki kemandirian bersikap dalam menentukan pilihan hidup kita.

Berawal dari pemikiran tersebut John Locke menyatakan bahwa kondisi pikiran seseorang terhadap kenyataan dibedakan menjadi Fakta Primer dan Fakta Sekunder. Ketika kita melihat sebuah benda bundar di lapangan, kita langsung akan menyadari bahwa benda tersebut adalah sebuah bola. Kondisi ini nyata dan benar adanya. Itulah fakta primer. Namun ketika kemudian para penonton meributkan warna bola tersebut, ada yang menyebut abu-abu atau putih, atau bahkan putih kusam, ini sudah merupakan fakta sekunder, karena difinisi satu dan lain orang mengenai warna bisa berbeda. Dalam NLP hal seperti ini dibahas dalam framework Human Model of the World.

Sementara Berger dan Luckman dalam bukunya 'Social Construction of Reality', menjelaskan betapa realitas dalam kehidupan sehari-hari telah memberikan ingatan, kesadaran, dan pengetahuan yang membimbing tindakan kita pada sesuatu yang dianggap wajar. Indikasi seperti ini menerangkan bahwa makna dalam kehidupan sehari-hari tidak akan ada tanpa interaksi dan komunikasi dengan orang lain.

Konstruksi Sosial (Social Construction) adalah suatu proses pemaknaan yang dilakukan oleh setiap individu terhadap lingkungan dan aspek di luar dirinya yang terdiri dari proses eksternalisasi, internalisasi dan obyektivasi. Eksternalisasi adalah penyesuaian diri dengan dunia sosiokultural sebagai produk manusia, obyektivasi adalah interaksi sosial dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami proses institusionalisasi, dan internalisasi adalah individu mengidentifikasi diri di tengah lembaga-lembaga sosial di mana individu tersebut menjadi anggotanya.

Sementara konstruksi sosial atas realitas (social construction of reality) didefinisikan sebagai proses sosial melalui tindakan dan interaksi di mana individu menciptakan secara terus-menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subyektif.

Penjelasan Berger dan Luckman di atas memperlihatkan bahwa realitas dalam pandangan konstruksi sosial sangat mementingkan proses dialogis berkesinambungan yang terjadi antara satu individu dengan individu lainnya, terutama pada pemaknaan yang dibentuk masing-masing individu tersebut tentang dunia. Kualitas lain yang disebutkan oleh Berger dan Luckman adalah pemaknaan “here and now” pada manusia tentang keberadaan dan tujuan mereka di dunia.

Berdasakan kenyataan sosial yang ada, Berger da Luckman menganggap bahwa unsur terpenting dalam konstruksi sosial adalah masyarakat, yang di dalamnya terdapat aturan-aturan atau norma, baik itu norma adat, agama, moral dan lain-lain. Dan, semua itu nantinya akan terbentuk dalam sebuah struktur sosial yang besar, seperti institusi dan pertemuan. Struktur sosial atau institusi merupakan bentuk atau pola yang sudah mapan yang diikuti oleh kalangan luas di dalam masyarakat. Akibatnya institusi atau struktur sosial itu mungkin saja terlihat mengkonfrontasikan individu sebagai suatu kenyataan obyektif di mana individu harus menyesuaikan dirinya.

Salah satu pertanyaan paling mendasar yang dapat kita tanyakan tentang dua orang adalah apakah mereka berbagi realitas yang sama — apakah mereka melihat hal yang sama ketika mereka berdua melihatnya, apakah mereka mendengar hal yang sama ketika mereka berdua mendengarkannya. Dalam kehidupan sehari-hari, kita biasanya berasumsi bahwa orang lain berbagi realitas kita, dan sebagian besar melakukannya, tetapi tidak selalu dan tidak sepenuhnya.
Persepsi kita sangat dipengaruhi oleh tempat perhatian kita berada, oleh konteks, oleh pengalaman masa lalu, harapan, motivasi, dan banyak faktor lainnya. Dengan kata lain, pengalaman kita tentang realitas dikonstruksi secara psikologis. Dalam teori psikologi hal ini disebut dengan Psychological Construction of Reality.

Sahabat pembelajar yang berbahagia, jika diambil kesimpulan maka secara ringkas dapat dikatakan bahwa meskipun unsur terpenting dalam konstruksi sosial adalah masyarakat, namun ternyata manusia merespon dunia luar secara subyektif. Persepsi kita sangat dipengaruhi oleh tempat perhatian kita berada, oleh konteks, oleh pengalaman masa lalu, harapan, motivasi, dan banyak faktor lainnya. Dengan kata lain, pengalaman kita tentang realitas dikonstruksi secara psikologis

Kita hanya mau melihat apa yang ingin kita lihat dan hanya ingin mendengar apa yang ingin kita dengar. Itulah sebabnya, sang istri membicarakan jilbab, karena bagi dirinya benda itulah yang dianggap menarik, sementara menurut sang suami, model yang memakai jilbab itulah yang lebih menarik. Jadi bagaimana dong solusinya?

Sederhana saja, setiap kali kita mendapatkan sebuah informasi, langsung saja identifikasikan mana data/fakta dan mana persepsi. Dan cara paling tepat melakukannya adalah dengan Emphatic Listening.

Tunggu artikel selanjutnya mengenai Emphatic Listening...





BLANTERLANDINGv101
Formulir Kontak Whatsapp×
Data Anda
Data Lainnya
Kirim Sekarang