Menurut William Ury, penulis yang juga co-founder dari Harvard’s Program on Negotiation, dalam bukunya Getting to Yes, keahlian menyimak atau mendengarkan dibagi menjadi 5 tingkatan:
1. Ignoring
Tingkatan paling rendah adalah mengabaikan. Kita mengabaikan pembicaraan yang disampaikan orang lain karena tidak tertarik dengan hal yang disampaikannya. Dalam tahap ini, biasanya kita akan cenderung mengalihkan pembicaraan, dan ingin segera mengakhirinya. Contoh nyata dari tahap pertama ini adalah ketika suatu saat Anda berada di mal dan tetiba saja ada seorang salesman yang menawari Anda sesuatu yang tidak Anda perlukan. Maka, meskipun Anda sudah mendengarkan, namun hanya sepintas lalu, dan ignoring
2. Pretending
Tingkatan kedua adalah berpura-pura. Kita hadir secara fisik dalam sebuah percakapan namun tidak menyimak dengan seksama. Sebenarnya kita hanya berpura-pura mendengarkan. Kondisi seperti ini biasanya terjadi dalam sebuah meeting, di mana kita terpaksa menghadirinya. Mata kita menatap kawan bicara kita, namun pikiran kita melayang entah ke mana!
3. Selective Listening
Pada tingkatan ketiga ini, kita sudah hadir utuh, namun belum sadar penuh. Kita hanya mendengarkan poin-poin tertentu yang dirasa perlu. Namun tetiba saja kita bisa memalingkan perhatian pada momen-momen yang kita rasa tidak relevan dengan kepentingan kita saat itu. Kondisi seperti ini mirip dengan suasana dalam sebuah lelang. Ketika benda yang dilelang itu menarik perhatian kita, maka dengan sepenuh hati, kita akan mende-ngarkan semua informasi yang disampaikan. Namun begitu barang yang dilelang tidak menarik hati kita, tetiba saja kita bisa memainkan gadget, atau malah melamun, entah mikirin apa!
4. Attentive Listening
Pada tingkat ke-empat ini sebenarnya kita sudah melakukan sebuah teknik mendengarkan yang sempurna, kita sudah hadir utuh dan sadar penuh, namun sayang fokus kita masih pada keinginan untuk menjawab dan memberikan solusi dari sudut pandang kita. Kita mendengarkan bukan untuk memahami situasi yang sedang terjadi, karena merasa sudah bisa menebak arah pembicaraan tersebut. Situasi ini sering terjadi pada konselor atau terapis yang baru belajar. Apalagi mereka yang masih fresh ilmunya. Mereka merasa sudah menguasai semua teknik menyelesaikan sebuah situasi, namun mereka lupa bahwa semua yang mereka pahami itu masih berada dalam tataran kepala mereka, bukan kepala klien. Maka agar sempurna informasi yang kita peroleh, kita perlu terus mengasah keahlian mendengarkan kita sampai ke level paripurna, yaitu:
5. Emphatic Listening
Pada tingkatan paripurna ini, kita sudah belajar untuk menangkap emosi yang bisa kita terima melalui panca indera kita. Apa yang terlihat, apa yang terdengar, dan apa yang diekspresikan oleh mimik klien mesti kita tangkap dengan seksama. Kemudian kita mesti berusaha menyesuaikan wacana kita dengan sudut pandang klien. Kita mengajukan pertanyaan justru untuk memastikan kesepahaman kita dengan klien.
Secara ringkas Empathic Listening adalah kemampuan untuk mendengarkan secara aktif menggunakan client-centered approach; meliputi kemampuan untuk merasakan (sensing), memproses (prosessing) dan merespon (responding) secara empathic.
Empathic Listening merupakan kemampuan Anda untuk memahami APA yang disampaikan oleh klien dan juga BAGAIMANA cara meresponnya; yang meliputi:
a. Menunjukkan kepekaan terhadap apa yang disampaikan klien
b. Menyadari maksud yang tersirat
c. Memahami perasaan klien
d. Memperhatikan hal lain selain kata-kata yang diucapkan
Dan ketika kita sudah berhasil mencapai tingkatan tertinggi dalam powerful listening ini, maka kita mulai bisa membedakan antara data dan persepsi yang disampaikan klien.
Contoh ada klien yang berkata: "Memang sih sekarang jamannya Smart TV. Kemarin saya baru saja membeli Smart TV LCD berwarna hitam dengan ukuran 42 inch. Sebenarnya TV itu lumayan bagus, namun harga 10 juta menurut saya terlalu mahal!"
Data:
- TV LCD
- Berwarna Hitam
- 42 inch
- Rp 10 juta
Persepsi:
- Jamannya Smart TV
- Bagus
- Mahal
Pertanyaan saya adalah, ada di manakah kemampuan listening Anda saat ini?