Dari pengalaman bertahun-tahun menjadi terapis, menurut saya biasanya klien yang datang akan melebih-lebihkan situasi yang sedang mereka alami alias faking bad. Semua hal dinyatakan seolah langit akan runtuh menimpa kepalanya. Tidak ada hal baik yang pernah terjadi pada dirinya. Atau sebaliknya, ada juga beberapa klien yang berperilaku faking good. Aku rapopo, everything is under control, bukan saya kok yang bermasalah, tapi si fulan, dll, dst.
Agar tepat sasaran dalam melakukan terapi, kita mesti bisa menemukan vocal situation (situasi utama yang saat itu ingin diselesaikan). Ada beberapa tips untuk mendapatkan situasi utama seperti ini, yang pertama adalah dengan meminta langsung klien menuliskan atau mengatakan situasi apa saja yang sedang mengganggunya. Kemudian minta mereka untuk membuat ranking berdasarkan penting dan mendesaknya (urgent & important) situasi tersebut untuk segera diatasi.
Jika hal seperti di atas tidak mungkin dilakukan, maka kita mesti mampu menemukan kata kunci dari keluhan klien.
Ada 3 ciri sebuah kata bisa kita anggap sebagai kata kunci
- Kata yang cenderung diulang
- Kata yang diucapkan dengan intonasi berbeda
- Kata-kata keyakinan yang memiliki makna personal dan mendalam (saya yakin, saya percaya, ini bagus, ini penting, dll)
Dan ketika tahapan ini berhasil kita lakukan, maka klien akan mulai memberikan trust kepada kita. Salah satu tanda awal terjadinya trust adalah ketika klien mulai melakukan self disclosure, atau menceritakan suatu hal yang sangat pribadi hanya kepada kita. Ya, hanya kepada kita selaku terapisnya.
Misal, "Pak Hari, saya sedang bingung nih. Bulan depan saya mau menikah, dan saya masih suka mengompol ketika tidur. Tolong jangan cerita kepada siapapun ya"
Kita juga mesti bisa membedakan self disclosure dengan openness. Jika self disclosure hanya disampaikan kepada kita, sementara openness adalah pengumuman bisa secara sengaja atau bercanda ke semua orang mengenai kondisi yang sedang dialaminya.
Misal: "Woii gua bulan depan mau nikah, tapi gua masih suka ngompol. Normal gak ya?"
Ketika klien sudah melakukan self disclosure, maka ini merupakan sebuah lampu hijau bagi kita untuk melenggang menuju tahapan selanjutnya, yaitu sesi konseling/terapi. Pastikan klien juga sudah paham mengenai goal yang akan dicapainya.
Sebagaimana kita ketahui bahwa proses konseling atau terapi merupakan sebuah proses kerjasama antara dua belah pihak, yaitu terapis/konselor dengan klien/konseli. Namanya saja kerjasama, maka kedua belah pihak wajib untuk sama sama kerja dalam rangka mencapai goal bersama. Kenapa saya sebut goal bersama? Karena terapis juga mesti memiliki goal yang selaras dengan goal klien.
Maka sebelum lanjut melakukan terapi, ada 3 pertanyaan sederhana yang perlu diajukan kepada klien, yaitu:
- "Apakah Anda mau dibantu?" Pertanyaan ini wajib diucapkan secara eksplisit kepada klien sebagai bentuk komitmen klien untuk berubah.
- "Apakah Anda percaya kepada saya?" Pertanyaan kedua ini bisa ditanyakan secara langsung atau tak langsung dengan melihat self disclosure tadi.
- "Apakah Anda bisa dipercaya?" Pertanyaan ketiga ini kadang saya tanyakan secara langsung kepada beberapa klien dengan kondisi lumayan berat dan membutuhkan komitmen tingkat tinggi. Atau terkadang saya melakukan pengujian dengan memberikan perintah sederhana namun menunjukkan tingkat komitmen dari klien. Misal untuk klien yang ingin berhenti merokok, saya minta dia menghancurkan rokok yang masih disimpannya.
Terapis bukanlah dewa atau bahkan tuhan yang mampu mengubah pikiran klien, terapis adalah pihak yang bertugas membuka pintu kesadaran klien dalam cara yang paling ekologis bagi klien. Maka jika salah satu dari 3 pertanyaan sederhana di atas belum terjawab dengan baik, jangan terburu nafsu untuk menuju sesi terapi, karena Anda akan menghabiskan banyak energi dalam sesi terapi tersebut.
Semoga bermanfaat
Tabik
-haridewa-
Happy Counselor
Professional Hypnotherapist