"Manusia punya kedua potensi untuk berperilaku seperti babi atau seperti nabi; potensi mana yang akan diwujudkan, tergantung dari keputusannya, bukan dari kondisi yang terjadi". - Victor Frankl
Sahabat pembelajar yang berbahagia, beberapa waktu yang lalu saya mengikuti kelas daring logoterapi bersama pakar logoterapi Indonesia, yaitu Bp HD Bastaman. Karena masih haus akan pemahaman dasar dari Teknik ini, maka atas saran beliau, saya kemudian ‘ngulik’ dua buku keren, yaitu 'Man’s Search for Meaning' tulisan Viktor Emil Frankl dan tentu saja buku 'Logoterapi' karya Pak Bastaman sendiri. Di bawah ini saya berikan saripatinya untuk Anda semua. Semoga bermanfaat.
Viktor Emil Frankl lahir pada tahun 1905 dan meninggal pada tahun 1997 dalam usia 92 tahun. Frankl adalah seorang Psikiater berkebangsaan Austria yang selamat dari Holocaust Nazi sekaligus menemukan kebermaknaan hidup di bawah kekejaman Nazi.
Sebenarnya ia memiliki kesempatan untuk pergi meninggalkan Jerman. Namun, karena ia tidak sampai hati meninggalkan orangtuanya, ia memilih untuk bertahan. Alhasil, ia pun harus menghadapi kenyataan dengan menjadi tawanan di kamp - kamp konsentrasi paling mematikan Nazi pada tahun 1942 - 1945.
Selama menjadi tawanan, Frankl tetap setia memelihara harapannya akan kehidupan yang jauh lebih baik dan senantiasa memimpikan hari - hari di mana ia akan dibebaskan. Harapan - harapan itulah yang membuat ia mampu bertahan di bawah tekanan dan siksaan dari para serdadu NAZI. Singkat cerita, setelah Jerman kalah dalam Perang Dunia II, para tawanan, termasuk Viktor pun dibebaskan.
'Dia yang punya alasan MENGAPA harus hidup akan mampu menanggung segala bentuk BAGAIMANA caranya hidup'
Frasa tersebut merupakan ungkapan pemikiran seorang filsuf Jerman, Friedrich Nietzsche yang sering ditekankan Frankl dalam buku Man's Search for Meaning. Frasa tersebut memiliki makna mendalam yang menggambarkan bagaimana manusia dapat bertahan hidup manakala ia memang masih memiliki banyak alasan untuk tetap hidup.
"Mengapa" memiliki makna sebagai alasan - alasan yang mendorong kita untuk tetap bertahan hidup dalam situasi apa pun. "Bagaimana" bermakna beragam situasi yang akan kita hadapi dalam hidup, yang salah satunya adalah keadaan yang penuh sengsara dan derita.
Sejak pertama masuk kamp konsentrasi, Frankl mengamati perubahan gejala psikologis yang dialami oleh para tahanan. Pada fase pertama, muncul ketakutan luar biasa. Reaksi abnormal terhadap situasi abnormal adalah wajar menurutnya. Kondisi ini akan berubah ketika memasuki fase kedua setelah beberapa hari.
Fase selanjutnya adalah bersikap apatis. Tahanan kehilangan emosi, tidak lagi tanggap terhadap siksaan yang didera. Dalam kondisi tertekan tetapi tetap harus bertahan hidup, bathin tahanan bisa sampai pada titik terbawah. Apatis ini menjadi bentuk pertahanan diri. Fase kedua ini membuat tahanan hanya mampu memikirkan cara agar tetap hidup, terutama bagaimana memperoleh makanan. Rasa kepedulian menumpul, gairah seksual hilang, dan mereka mengalami ketidakaktifan interaksi, kecuali terkait isu politik dan agama.
Perbincangan politik hanya berkutat seputar gosip tahanan mana yang ditangkap. Namun, minat keagamaan meningkat drastis. Mereka berdoa atau melakukan misa di kegelapan. Pada tahapan ini Frankl mencermati bahwa kondisi tahanan terbagi menjadi 2 kelompok, ada yang semakin egois dan tak jarang mereka menekan tahanan lain demi sekedar bisa bertahan hidup. Perilaku mereka layaknya babi (swine) yang hanya peduli pada urusan perut mereka sendiri. Di sisi lain ada juga tawanan yang masih peduli kepada tawanan lain yang lebih menderita. Mereka rela berbagi makanan atau sekedar kain penutup rasa dingin yang terkadang menyengat tulang. Perilaku mereka ini laksana nabi (saint), dan Frankl memilih untuk bergabung dengan kelompok kedua ini.
Pada tahun 1945, Nazi Jerman kalah perang sehingga tahanan yang tersisa di kamp konsentrasi dapat menikmati kebebasan. Di sinilah fase psikologis ketiga berlangsung. Usai terbebas dari kamp, para tahanan mengalami 'depersonalisasi', yaitu kehilangan kemampuan untuk merasakan bahwa hal-hal di sekitarnya nyata. Mereka perlahan-lahan harus mempelajarinya lagi. Tak jarang, mantan tahanan bisa jadi membenarkan penindasan yang telah dialaminya sehingga berbalik menjadi penindas. Kondisi ini kerap muncul terhadap hal-hal sepele. Hanya dengan kesabaran, mereka dapat menyadari kembali bahwa tidak ada orang yang berhak bertindak semena-mena meskipun orang itu sendiri pernah diperlakukan semena-mena.
***
Pengalaman mengerikan di kamp konsentrasi tersebut tidak pernah hilang dari ingatannya, tetapi Frankl bisa menggunakan kenangan mengerikan itu secara konstruktif dan tidak mau kenangan itu memudarkan rasa cintanya dan kegairahannya untuk hidup. Di kamp konsentrasi yang dibangun oleh Nazi itu, Frankl banyak belajar tentang makna hidup, dan lebih spesifik lagi makna penderitaan. Ia pun mempraktekkan psikoterapi kelompok bagi sesama tahanan guna membantu mereka dalam mengatasi kesia-siaan, keputusasaan, keinginan bunuh diri dan berbagai kondisi patologis yang ia duga bersumber pada pengalaman kegagalan menemukan makna hidup. Bagi Frankl, pelajaran dan praktek di dalam kamp konsentrasi memperkaya hasil studi formalnya dan menjadi bekal yang amat berharga dalam kehidupan profesinya sebagai teoritisi dan praktisi psikoterapi di kemudian hari.
“Apa pun bisa dirampas dari manusia. Kecuali satu: kebebasan terakhir seorang manusia – kebebasan untuk menentukan sikap dalam setiap keadaan. Kebebasan untuk memilih jalannya sendiri.” (Viktor E. Frankl)
Manusia selalu punya pilihan untuk tidak menyerah kepada nasib dalam kondisi terburuk sekalipun. Pencarian makna hidup adalah kunci bertahan hidup dan menjalani kehidupan yang lebih berarti.
Frankl kemudian meneruskan prinsip terapi yang sudah dikembangkannya sebelum dia dijebloskan ke dalam kamp konsentrasi, yaitu LOGOTHERAPY.
Logoterapi terdiri dari 2 kata, yaitu logos dan terapi. Logos berasal dari Bahasa Yunani yang artinya adalah spirituality (kerohanian). Maka dalam studinya, logoterapi mengakui adanya dimensi kerohanian di samping dimensi-dimensi raga, jiwa dan lingkungan sosial-budaya, serta memanfaatkannya untuk mengembangkan hidup yang bermakna
Logos juga bisa diartikan sebagai 'meaning' (makna). Setiap insan hidup berharap bahwa mereka memiliki sebuah makna atau arti dalam hidup dan kehidupannya. Maka logoterapi berpandangan bahwa makna hidup (The Meaning of Life) & hasrat untuk hidup bermakna (The Will to Meaning) merupakan salah satu alasan paling mendasar dari keberadaan seorang manusia ( human being )
Dengan kata lain logotherapy bisa disebut sebagai sebuah 'a therapy through meaning'. Namun dalam perkembangannya, dikarenakan kata terapi sering dikaitkan dengan kondisi sakit, sementara fokus logoterapi lebih pada kesehatan mental, maka definisinya menjadi bergeser menjadi 'health through meaning'.
Logoterapi membantu manusia untuk menemukan makna hidup melalui pengendalian rasa takut dan pengalihan keinginan yang berlebihan.
Ada tiga asas utama logoterapi, yaitu :
1. Hidup itu tetap memiliki makna dalam setiap situasi, bahkan dalam penderitaan dan kepedihan sekalipun. Makna adalah sesuatu yang dirasakan penting, benar, berharga, dan didambakan serta memberikan nilai khusus bagi seseorang dan layak dijadikan tujuan hidup. Setiap manusia selalu mendambakan hidupnya bermakna, dan selalu berusaha mencari dan menemukannya. Makna hidup apabila berhasil ditemukan dan dipenuhi akan menyebabkan kehidupan ini berarti, mereka yang berhasil menemukan dan mengembangkannya akan merasakan kebahagiaan sebagai ganjarannya sekaligus terhindar dari keputusasaan.
2. Setiap manusia memiliki kebebasan (yang hampir tak terbatas) untuk menemukan sendiri makna hidupnya. Makna hidup dan sumber-sumbernya dapat ditemukan dalam kehidupan itu sendiri, khususnya pada pekerjaan dan karya-bakti yang dilakukan, serta dalam keyakinan terhadap harapan dan kebenaran serta penghayatan atas keindahan, iman dan cinta kasih. Selain itu, sikap tepat yang diambil atas penderitaan yang tidak dapat diubah lagi merupakan sumber makna hidup.
3. Setiap manusia memiliki kemampuan untuk bersikap terhadap penderitaan dan peristiwa tragis yang tidak dapat dielakkan lagi yang menimpa diri sendiri dan lingkungan sekitar, setelah upaya mengatasinya telah dilakukan secara optimal tetap tak berhasil. Maksudnya jika tidak mungkin mengubah suatu keadaan (tragis), sebaiknya mengubah sikap atas keadaan itu agar tidak terhanyut secara negatif oleh keadaan itu. Dengan jalan mengambil sikap tepat dan baik, yakni sikap yang menimbulkan kebajikan diri sendiri dan orang lain sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan dan norma-norma lingkungan yang berlaku.
Jadi, tepatnya logoterapi memiliki tiga konsep yang menjadi landasan filosofisnya yakni kebebasan berkeinginan (The Freedom of Will), keinginan akan makna (The Will to Meaning), dan makna hidup (The Meaning of Life):
A. Kebebasan Berkeinginan
Dalam pandangan Frankl, kebebasan termasuk kebebasan berkeinginan adalah ciri yang unik dari keberadaan pengalaman manusia. Frankl mengakui kebebasan manusia sebagai makhluk yang terbatas, adalah sebagai kebebasan didalam batas-batas. Manusia tidaklah bebas dari kondisi-kondisi biologis, psikologis dan sosiologis akan tetapi manusia berkebebasan untuk mengambil sikap terhadap kondisi-kondisi tersebut.
B. Keinginan Akan Makna
Frankl mengawali gagasannya mengenai keinginan akan makna dengan mengkritik prinsip kesenangan dari Freud dan keinginan pada kekuasaan (The Will to Power) dari Adler sebagai konsep yang terlalu menyederhanakan fenomena keberadaan dari tingkah laku manusia. Menurut Frankl, kesenangan dan kekuasaan bukanlah tujuan utama, melainkan efek yang dihasilkan oleh tingkah laku dalam rangka pemenuhan diri yang bersumber pada atau diarahkan oleh keinginan kepada makna. Kesenangan adalah efek dari pemenuhan makna, sedangkan kekuasaan merupakan prasarat bagi pemenuhan makna menyebabkan arti yang setiap orang memerlukan tanggung jawab pribadi tidak ada orang atau sesuatu yang lain, bukan orang tua, partner atau bangsa dapat memberi kita pengertian tentang arti dan maksud dalam kehidupan kita.
Tanggung jawab kitalah untuk menemukan cara kita sendiri dan tetap bertahan didalamnya segera setelah ditemukan. Frankl menambahkan bahwa tegangan yang dialami manusia bukanlah semata-mata tegangan yang ditimbulkan oleh naluri-naluri melainkan tegangan antara keberadaan dan hakikat atau tegangan antara ada dan makna. Karena itulah orientasi atau keinginan yang utama tidak pernah padam pada menusia.
C. Makna hidup
Makna hidup adalah hal-hal yang oleh seseorang dipandang penting, dirasakan berharga dan diyakini sebagai sesuatu yang benar serta dapat dijadikan tujuan hidupnya manusia bisa (berpeluang) menemukan makna hidup atau membuat hidupnya bermakna sampai nafasnya yang terakhir. Manusia dalam hidupnya terdorong oleh keinginan yang kuat untuk mencapai arti bagi hidupnya. Manusia selalu terdorong oleh kemauan bebas untuk mengungkapkan dirinya dan mengaktualkan wujudnya, menikmati hidup sebagaimana dilihatnya dan sebagaimana dipilihnya, dan mewujudkan potensi-potensi sesuai dengan cara-cara yang diinginkan.
Makna hidup seperti yang dikonsepkan Frankl memiliki beberapa karakteristik, di antaranya :
· Makna hidup itu sifatnya unik dan personal, sehingga tidak dapat diberikan oleh siapapun melainkan harus ditemukan sendiri.
· Makna hidup itu spesifik dan kongkrit, hanya dapat ditemukan dalam pengalaman dan kehidupan nyata sehari-hari, serta tidak selalu harus dikaitkan dengan tujuan idealistis maupun renungan filosofis.
· Makna hidup memberikan pedoman dan arah terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan.
· Makna hidup diakui sebagai sesuatu yang bersifat mutlak, sempurna dan paripurna.
Frankl percaya bahwa hakikat eksistensi manusia terdiri dari 3 faktor:
1. Pertama adalah spiritualitas, spiritualitas adalah suatu konsep yang sulit dijelaskan dan tidak dapat direduksi. Spiritualitas memang dapat dipengaruhi oleh dunia material tetapi tidak disebabkan oleh dunia material.
2. Kedua, yakni kebebasan manusia tidak didikte oleh faktor-faktor non-spiritual. Manusia bebas dari insting dan kondisi dari lingkungan untuk berperilaku sehat secara psikologis.
3. Ketiga, yakni tanggung jawab, manusia yang sehat selalu akan memikul tanggung jawab dalam hidupnya. Mereka akan memaksimalkan potensi yang dimiliki dengan berkarya walaupun hidup ini singkat dan tidak kekal. Segala yang menjadi karyanya tidak sia-sia karena suatu kehidupan tidak ditentukan seberapa panjang usia seseorang tetapi lebih kepada kualitas hidupnya.
Makna hidup ada dalam kehidupan itu sendiri, dan dapat ditemukan dalam setiap keadaan yang menyenangkan dan tak menyenangkan, keadaan bahagia dan penderitaan. Oleh karena itu individu dapat menemukan makna hidupnya dengan merealisasikan tiga nilai yang ada yaitu :
1. Nilai-nilai Daya Cipta atau Kreatif (Creative Values)
Nilai-nilai kreatif dalam wujud kongkritnya muncul berupa pelaksanaan aktivitas kerja menurut Frankl setiap bentuk pekerjaan dapat mengantarkan individu kepada hidup (kehidupan diri dan sesama) yang didekati secara kreatif dan dijalankan sebagai tindakan komitmen pribadi yang berakar pada keberadaan totalnya. Contohnya dalam kegiatan berkarya, bekerja mencipta serta melaksanakan tugas dan kewajiban sebaik-baiknya dengan penuh tanggung jawab. Nilai kreatif yang direalisasikan dalam bentuk aktivitas kerja menghasilkan sumbangan bagi masyarakat. Komunitas atau masyarakat pada gilirannya mengantarkan individu pada penemuan makna.
2. Nilai-nilai Penghayatan (Experiential Values)
Nilai-nilai penghayatan yaitu keyakinan dan penghayatan akan nilai-nilai kebenaran, kebajikan, keindahan, keimanan, dan keagamaan, serta cinta kasih. Menghayati dan meyakini suatu nilai dapat menjadikan seseorang berarti hidupnya.
3. Nilai-Nilai Bersikap (Attitudinal Values)
Frankl menyebut nilai ketiga ini sebagai nilai yang paling tinggi, dengan merealisasikan nilai bersikap ini berarti individu menunjukkan keberanian dan kemuliaan menghadapi penderitaannya itu memiliki makna pada diri dirinya. Ketika menderita karena sesuatu, individu bergerak kedalam menjauhi sesuatu itu. Membentuk suatu jarak di antara kepribadiannya dan sesuatu itu. Selama individu menderita suatu keadaan yang tidak semestinya ada atau terjadi, individu akan berada di dalam tegangan antara apa yang sesungguhnya terjadi di satu pihak dan apa yang semestinya terjadi di lain pihak, sehingga individu tersebut akan dapat mempertahankan pandangannya kepada hal yang ideal.
Jadi, penderitaan menurut Frankl memiliki makna ganda, membentuk karakter sekaligus membentuk kekuatan dan ketahanan diri. Menurut Frankl pula bahwa esensi suatu nilai bersikap terletak pada cara seseorang secara ikhlas dan tawakal menyerahkan dirinya pada suatu keadaan yang tidak bisa dihindarinya. Yaitu menerima dengan penuh ketabahan, kesabaran dan keberanian segala bentuk penderitaan yang tidak mungkin dielakkan lagi.
Frankl yang kehilangan satu per satu anggota keluarganya di dalam kamp pengasingan terus bertanya-tanya, apakah ia masih perlu melanjutkan hidup sementara semua yang dicintainya sudah lebih dahulu pergi meninggalkan dunia? Frank seperti telah kehilangan harapan, kehilangan tujuan untuk melanjutkan kehidupan.
Semasa di tempat pengasingan Frankl justru menemukan satu kepastian. Semakin hilang harapan hidup seseorang, semakin dekat pintu kematian itu datang. Frankl melihat sendiri mereka yang tak punya lagi tujuan, satu per satu masuk ke kamar gas yang mematikan, sedangkan yang terus bertahan hanyalah segelintir orang yang masih mau berjuang.
“Kita tidak dapat menghindari penderitaan, tetapi kita dapat memilih cara mengatasinya, menemukan makna di dalamnya, dan melangkah maju dengan tujuan baru.”
Manusia-manusia tidak boleh kehilangan harapan. Ketika tujuan lama tak lagi bisa diharapkan, selalu siapkan tujuan baru agar dapat terus melangkah ke depan. Hidup ini punya makna; dan itulah satu-satunya hal yang harus kita percaya.