Beberapa waktu yang lalu dalam sebuah tausiah, saya mendapatkan sebuah cerita yang sangat berkesan dalam hati saya sampai sekarang. Saya akan mencoba menuliskannya kembali untuk Anda semua.
Tersebutlah ada seorang mahasiswa yang baru pulang ke tanah air dengan membawa gelar cumlaude, setelah sekian lama menuntut ilmu di luar negeri. Sesampainya di rumah, meskipun sudah berpendidikan tinggi, namun dalam benak mahasiswa tadi masih berkelebat beberapa pertanyaan yang sangat menganggu keimanannya. Ia sudah bertanya kepada orang tuanya, tapi mereka tidak mampu menjawab. Kemudian ia meminta orang tuanya untuk mencarikan seseorang, siapa saja yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaannya tersebut.
Akhirnya orang tua mahasiswa tersebut merekomendasikan seorang Ustadz untuk menepis keraguannya selama ini. Setelah bertemu dengan orang yang dimaksud, terjadilah percakapan berikut ini.
“Pak Ustadz yang terhormat, bisakah Ustadz menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sering membuat iman saya goyah dan juga membuat hati saya resah?” tanya mahasiswa itu penuh harap.
“Insya Allah, dengan izin-Nya saya akan menjawab pertanyaan kamu.” jawab Ustadz.
“Ustadz yakin? Padahal banyak Profesor, Dosen dan orang pintar tidak mampu menjawab pertanyaan saya.”
“Saya akan coba menjawab semampu saya.” tandas Ustadz meyakinkan.
Selanjutnya, mahasiswa itu mengajukan pertanyaan sebagai berikut:
1.Kalau memang Tuhan itu ada, mana bukti wujudnya?
2.Apa yang dimaksud dengan takdir itu?
3.Kalau setan diciptakan dari api kenapa dia dimasukkan ke neraka yang juga dibuat dari api? Tentu tidak akan menyakitkan untuk setan, karena mereka memiliki unsur yang sama yaitu Api
“Apakah Tuhan tidak pernah berpikir sejauh itu?”
Tiba-tiba Ustadz tersebut menampar pipi mahasiswa itu dengan sekerasnya. Dia tersentak dan kaget.
“Kenapa Ustadz marah kepada saya?” tanya mahasiswa tersebut sambil menahan kesakitan.
“Saya tidak marah. tamparan keras itu adalah jawaban saya terhadap 3 pertanyaan yang kamu ajukan.” jawab Ustadz.
“Saya tidak mengerti, Ustadz?” kata mahasiswa itu dengan mimik keheranan.
“Bagaimana rasanya tamparan saya?” Ustadz bertanya.
“Sakit…!” ujarnya.
“Jadi kamu percaya bahwa sakit itu ada?”
Mahasiswa itu mengangguk tanda percaya.
“Buktikan wujud sakit itu pada saya!”
“Ngg …. ti..tiddak bisa, ustadz”, jawab mahasiswa itu tergagap
“Nah, itulah jawaban pertama. Kita percaya akan adanya Tuhan, tapi tidak mampu melihat wujud-Nya.” terang Ustadz.
“Apakah tadi malam kamu bermimpi akan ditampar oleh saya?” Ustadz bertanya lagi.
“Tidak.” jawab mahasiswa.
“Pernahkah terpikir dalam benakmu, bahwa kamu bakal menerima satu tamparan dari saya?”
“Tidak.”
“Itulah yang dinamakan Takdir.” jawab Ustadz singkat tapi padat.
“Dibuat dari apa telapak tangan yang saya gunakan untuk menampar pipimu?” ustadz bertanya lagi.
“Kulit” jawab sang mahasiswa.
“Pipi kamu dibuat dari apa?”
“Kulit.”
“Bagaimana rasanya tamparan saya?”
“Sakit.”
“Itulah jawaban ketiga. Walaupun setan terbuat dari api dan neraka juga terbuat dari api. Ketika Tuhan berkehendak maka neraka akan menjadi tempat yang sangat menyakitkan buat setan.” jelas Ustadz menutup percakapan.
Saudaraku, semoga catatan kecil ini mampu memberi pencerahan kepada kita semua, bahwa eksistensi Tuhan itu tidak akan bisa kita lihat. Kita hanya bisa merasakan keberadaan-Nya, tanpa mampu melihat dengan mata kepala sendiri. Maka marilah kita syukuri nikmat yang bisa kita rasakan, karena begitu melimpahnya eksistensi Tuhan yang bisa kita rasakan, tanpa harus merusak pikiran kita karena menginginkan melihat wujud Tuhan kita.
Konon, Nabi Musa saja ketika meminta Tuhannya untuk menampakkan wujud aslinya, dia tidak mampu melihatNya karena begitu silaunya cahaya wajah Tuhan. Nabi Musa memalingkan wajahnya karena tidak sanggup menatap. Apalagi kita yang hanya manusia biasa??? Wallahualam bissawab
Jakarta, 31 August 2012