Belakangan ini banyak sekali pelatihan berbasis Leadership atau kepemimpinan. Berbagai lembaga pelatihan seakan berlomba mengulik materi satu ini untuk kemudian menawarkan dengan pelbagai kelebihannya. Sebenarnya apa sih yang dimaksud dengan pemimpin itu?
Beberapa hari yang lalu saya membuat status di facebook bahwa pemimpin adalah seorang yang mempunyai tujuan hidup yang jelas , mampu mengikuti arah tersebut dengan pasti dan mampu menunjukkan arah tadi kepada orang lain.
Ya, sebagai seorang pemimpin memang seyogyanya kita sudah memiliki sebuah visi yang jelas, dan mempunyai kemauan dan kemampuan untuk mengikuti arah tujuan tadi. Tidak selesai hanya sampai di sini, seseorang hanya layak disebut sebagai pemimpin ketika dia sudah pula sanggup menunjukkan arah tadi kepada orang lain.
***
Say = Do
Berikut ini sebuah cerita menarik mengenai Mahatma Gandhi. Pada suatu hari seorang ibu mendatangi Gandhi sambil membawa anak perempuannya yang sangat doyan menguyah permen. Kepada Gandhi, sang ibu memohon bantuan untuk menasehati anaknya agar berhenti melakukan kebiasaan buruknya tadi. Setelah mendengarkan dengan seksama masalah sang ibu, Gandhi menyuruh ibu dan anak itu pulang, dan meminta untuk datang kembali seminggu kemudian.
Seminggu berlalu, maka kembalilah ibu dan anak tadi ke kediaman Mahatma Gandhi. Sesampainya di sana, segera Gandhi menasehati anak perempuan tadi. “ Nak, berhentilah mengunyah permen, karena itu tidak baik untuk kesehatan gigimu, dan turutilah nasehat ibumu, karena dia pasti tahu yang terbaik untukmu”. Sang ibu tercenung mendengar nasehat tadi. Hanya sebuah nasehat kecil dan tentunya bisa juga dilakukan oleh orang kebanyakan. Tak perlu seorang Gandhi untuk memberikan nasehat sepele seperti itu. Karena penasaran dan kurang puas, maka sang ibu bertanya, “Kalau hanya sebuah nasehat sepele seperti ini, kenapa Anda menyuruh saya pulang seminggu yang lalu dan meminta datang kembali hari ini?”
Dengan tenang Gandhi menjawab, “karena seminggu yang lalu saya juga masih menguyah permen!”
Mahatma Gandhi sangatlah paham bahwa sebuah proses perubahan hanya akan bisa terjadi melalui tiga tahapan yaitu:
1. Meneladankan
2. Menganjurkan, baru
3. Mewajibkan.
Maka untuk menasehati seorang anak tentang akibat buruk mengunyah permen terhadap kesehatan gigipun, dia harus pula berhenti mengunyah permen.
***
Banyak orang merasa menjadi seorang pemimpin pada saat sebuah tanda jabatan disematkan di dada mereka dan mereka dilantik oleh pejabat di atasnya. Namun kenyataannya mereka hanya memimpin menggunakan sebuah buku yang namanya buku peraturan. Orang-orang ini hanya akan tanda tangan dan menyetujui sebuah agenda kegiatan ketika rule-nya tertulis dengan gamblang pada buku itu. Kata orang, mereka adalah orang yang jujur dan taat perintah. Tak heran jika nyaris tak ada kesalahan yang ditimpakan kepada kelompok ini. Kenapa? Karena mereka adalah orang yang benar-benar taat aturan.
Kelompok macam ini jumlahnya lumayan banyak, dan tentu saja benar bahwa mereka ini telah disebut pemimpin, namun yang membedakan kelompok ini dengan kelompok lain adalah tipenya, karena untuk menjadi pemimpin paripurna dibutuhkan lebih dari sekedar aturan, namun juga terobosan dan respek.
***
Lima Tingkatan Pemimpin
John Maxwell, seorang pakar leadership memilah tipikal pemimpin menjadi 5 tingkatan yang dikenal dengan 5P, yaitu Position, Permission, Production, People Development dan Personhood. Tiap tipe pemimpin ini berkorelasi langsung dengan hasil nyata tindakan yang mereka lakukan yang disebut Maxwell sebagai 5 R, yaitu Rights, Relationship, Results, Reproduction dan Respect
Contoh pemimpin di atas merupakan pemimpin level 1, mereka dituruti semata-mata hanya karena otoritasnya (Position). Mereka duduk di posisi tersebut karena mereka memegang hak tertulis (Rights). Orang-orang mengikutinya karena sebuah keharusan. Meski seolah-olah organisasi berjalan dengan mulus namun kabar buruknya adalah semakin lama pemimpin level 1 ini berkuasa, semakin mundur pula sebuah organisasi. Organisasi akan ditinggalkan karyawan-karyawan kelas satunya yang menyukai terobosan dan sangat laku di pasaran. Sementara itu moral kerja akan merosot drastis, dan image sebagai organisasi yang disegani tak lagi terdengar, malah sebaliknya.
Pemimpin semacam itu seharusnya segera memperbaiki diri agar mereka bisa menapak ke level selanjutnya, yang disebut Permission (sedikit di atas otoritas). Pemimpin ini tidak melulu mengacu pada peraturan tertulis, melainkan mulai menghargai orang-orang yang melakukan terobosan sebagai warna yang harus diterima. Orang-orangpun senang dan menerima kepemimpinannya bukan lagi semata-mata karena rights, melainkan Relationship. Orang-orang mengikuti pemimpin level 2 ini karena mereka menghendaki. Namun ternyata pemimpin level 2 ini juga mempunyai jebakan yang mematikan, karena ketika sekedar menggantungkan pada relationship saja, dan anak buahnya sudah merasa senang, maka lambat laun dia akan menjadi seorang pemimpin yang populis.
Pemimpin yang populis lebih mengedepankan hubungan baiknya dengan anak buahnya sementara tugas pokoknya justru cenderung terabaikan.
Oleh karenanya seorang pemimpin harus segera menaikkan levelnya ke tingkat 3, yaitu maju dengan kompetensi dan memberikan hasil yang dapat dilihat secara kasat mata. Maxwell menyebutnya sebagai Production, dan orang-orang di bawahnya akan mengikuti kepemimpinannya karena sebuah Results, yaitu hasil nyata yang tampak pada kesejahteraan mereka dan kemajuan organisasi. Pemimpinnya pun senang karena tugas-tugas yang menantang dapat diselesaikan dengan mudah oleh timnya yang penuh dedikasi. Mereka bekerja karena sebuah momentum.
Biasanya level ketiga ini beti alias beda tipis dengan level di atasnya. Mudah sekali bagi mereka untuk segera naik tingkat. Kuncinya hanya satu yaitu pada kemauan untuk berbagi. Kenapa tidak sulit? Karena hasilnya sudah ada dan bukti-bukti achievement-nya sudah sangat jelas. P ke-empat ini disebut People Development dan hasilnya diberi nama Reproduction. Pemimpin level 4 adalah tipe pemimpin yang lumayan sulit ditemukan, karena mereka tidak hanya memikirkan nasibnya sendiri, namun juga nasib organisasinya. Mereka justru tidak rela ketika sepeninggal mereka, organisasinya akan mengalami kemunduran. Bagi pemimpin level ini kesuksesannya sebagai pemimpin justru diukur dari keberhasilannya menyiapkan suksesornya.
Maka kalau mereka tidak bisa memilih penggantinya sendiri, mereka akan memperkuat manajer di bawahnya agar siapapun yang terpilih menjadi penggantinya merupakan manajer yang handal. Hanya dengan cara inilah roda organisasi akan terus bergerak ke depan.
Tentu tidak mudah mendeteksi pemimpin level ini selain dari apa yang telah mereka lakukan untuk mengembangkan lini di bawahnya. Biasanya kita baru bisa menyebut seseorang berada pada level ini ketika mereka sudah pensiun. Pada waktu mereka meninggalkan kursi mereka, maka kita baru bisa menyaksikan apakah orang-orang yang dihasilkan mampu meneruskan kemajuan oraganisasi atau tidak. Tentu saja maju mundurnya organisasi paska kepemimpinan mereka sangat ditentukan oleh pemimpin berikutnya, masalahnya kita tidak bisa membedakan dengan jelas siapa yang membuat suksesor ini maju atau mundur. Mentornya, atau mentee-nya?
Pemimpin paripurna atau level 5 adalah pemimpin yang mengedepankan Personhood atau kepribadiannya yang teguh dan tegas. John Maxwell menyebutnya sebagai pemimpin yang mempunyai professional will dan strategic humility. Kepemimpinan ini dikenal juga sebagai spiritual leader yang ditunjukkan dari perilaku yang merupakan cerminan dari pergulatan bathin dalam dirinya (inner voice). Pemimpin level ini tidak menunjukkan kebengisan melainkan ketulusan hati.
Maka hasilnyapun sangatlah powerful yaitu respek yang mendalam dari para pengikutnya (Respects).
Orang baik seperti Gandhi saja ternyata juga dicaci maki dan diancam pelbagai pembunuhan, namun satu hal yang jelas, dia diikuti oleh banyak orang karena kepribadiannya dan apa yang ia suarakan. Alih-alih takut, orang-orang patuh karena respek.
Tabik
-haridewa-
Batam 8 Januari 2013