Aku menikmati pagiku di jalan bebas hambatan. Awalnya perubahan ini terasa sangatlah menantang (karena aku sudah menghapus kata berat dari kamus kehidupanku), karena biasanya aku keluar rumah selalu bersamaan dengan mengantar anak-anakku ke sekolah mereka menjelang pukul tujuh. Saat itu tentunya mentari telah dengan gagah menyinarkan kilaunya. Sementara kini, lampu besar mobilku masih harus kunyalakan demi terlihatnya jalan raya di depanku. Atau minimal agar kendaraan lain mampu menyadari keberadaan mobilku sehingga kami akan terhindar dari kecelakaan yang tentunya tidak kami inginkan.
Karena tuntutan kehidupan yang kian hari semakin mengedepankan besaran angka rupiah, maka aku memutuskan meninggalkan pekerjaan di kantor lama yang sudah lima belas tahun aku geluti. Aku kemudian berpindah ke kantor baru yang notabene lokasinya lebih jauh dan terletak di pusat kemacetan kota Jakarta. Konsekuensi logis dari keputusanku tadi tidaklah mudah. Aku harus berangkat lebih pagi, yang artinya aku juga harus mengatur ulang alarm tubuhku agar selalu bangun lebih pagi lagi. Begitu lepas dari salam shalat subuhku, sementara orang lain bisa kembali ke peraduannya, aku langsung memacu kendaraanku menuju jalan bebas hambatan tadi.
Aku sadar bahwa hidup ini merupakan kumpulan dari pilihan-pilihan. Namun aku juga lebih sadar lagi bahwa nasibku tidak akan berubah kalau aku tidak merasa bertanggung jawab untuk memperbaiki kehidupanku tadi. Banyak orang bijak yang mengatakan bahwa rejeki itu ada di tangan Tuhan. Seratus persen aku setuju dengan ungkapan ini. Pertanyaannya adalah apakah Tuhan akan mengantarkan rejeki itu, atau kita yang harus menjemputnya? Tuhan memang sudah memberikan porsi tiap insan di dunia ini dan Dia juga sudah berjanji bahwa tidak akan tertukar jatah antara satu insan dengan insan lainnya. Namun tentunya Tuhan tidak akan dengan mudah memberikan begitu saja rejeki itu, tanpa kita proaktif menjemputnya.
Dalam menjalani kehidupan ini ada dua hal penting yang harus kita pahami untuk mencapai kesuksesan kita. Dua hal tadi adalah kesabaran dan rasa kebersyukuran. Selama ini dua hal tadi sering disalahpahami hanya bisa digunakan oleh para ulama, ustadz, pastur, pedanda dan para praktisi ruhawi saja. Bahwa untuk mencapai titik tertinggi kemuliaan mereka, maka mereka perlu selalu bersabar dan bersyukur. Namun bagi para praktisi bisnis, dua hal ini dirasa tidak cocok. ‘Masak dalam bisnis kok harus sabar dan syukur?’ Yang ada ya harus profit, profit dan profit lagi. Sikat segala kesempatan mumpung masih ada waktu! Orang sabar masuk kubur, kata mereka. Kalau sudah dapat profit seratus ya harus segera mencari dua ratus. Mana ada syukurnya !
Sabar dulu sahabatku yang berbahagia, tak perlu emosi Anda terpancing dengan statement saya di atas. Mari kita telaah satu per satu komponen penting yang bisa menghantarkan kita pada kesuksesan kita.
Sabar
Selama ini kita memaknai sabar sebagai sebuah kepasrahan nan ketakberdayaan, duduk diam tak berbuat apa-apa sembari menunggu keajaiban datang. Sabar yang saya maksud di sini adalah sabar dalam bentuk aktif, bukan pasif. Sabar adalah kombinasi rasa syukur, optimisme dan kegigihan. Rasa syukur akan membuat manusia mampu mengambil hikmah dari kejadian buruk yang menimpanya. Optimisme akan membuat orang yang tertimpa musibah atau hal buruk tidak kehilangan harapan dan kegigihan akan membuatnya terus berjuang memperbaiki keadaan. Jadi setelah kita melakukan semua hal terbaik yang bisa kita lakukan, setelah kita menembus batasan tertinggi potensi kita barulah kita berserah kepada Allah.
Sabar merupakan komponen wajib dalam membentuk karakter manusia. Karakter tidak bisa dibentuk dengan cepat dan mudah, harus melalui proses panjang yang seringkali tidak mudah. Nabi saw. Bersabda : Barang siapa ditimpa musibah lalu membaca: Inna lillahi wa inna ilahi raaji’un seperti yang diperintahkan Allah, dan berdoa : Ya Allah berilah pahala bagiku, dalam musibah ini, dan gantilah yang lebih baik, maka Allah memberinya (yang lebih baik). Karena ternyata SABAR adalah Saya Ahli Bersyukur Atas Rahmat-Nya.
Syukur
Kata syukur diambil dari kata syakara, syukuran, wa syukuran, dan wa syukuran yang berarti berterima kasih kepada-Nya. Bila disebut kata asy-syukru, maka artinya ucapan terimakasih, syukranlaka artinya berterimakasih bagimu, asy-syukru artinya berterimakasih, asy-syakir artinya yang banyak berterima kasih. Syukur menurut para ulama adalah bersyukur dan berterima kasih kepada Allah, lega, senang dan menyebut nikmat yang diberikan kepadanya di mana rasa senang, lega itu terwujud pada lisan, hati maupun perbuatan.
Menurut Arvan Pradiansyah, dalam syukur terdapat dua unsur yaitu menerima (accepting) dan mengeksplor (exploring). Mengucapkan terimakasih, merasa lega dan senang serta menyebut nikmat yang telah kita terima merupakan indikasi dari unsur accepting tadi. Namun ternyata belumlah lengkap ungkapan syukur kita tadi ketika kita belum melakukan ekplorasi atas nikmat yang telah kita terima tadi. Mari kita ikuti ilustrasi berikut ini. Suatu hari tiba-tiba Anda mendapatkan hadiah berupa smartphone dari bos Anda. Tentunya Anda akan menerima hadiah tersebut dengan wajah berseri-seri, tak lupa dari mulut Anda meluncur bertubi-tubi ucapan terima kasih. Sebuah reaksi yang sangat wajar bukan? Dan tentunya wajah bos Anda juga tak kalah sumringahnya menyadari kegembiraan Anda menerima (accepting) hadiah tersebut. Waktupun terus berjalan, dengan antusias Anda sudah menggunakan smartphone hadiah tadi untuk melakukan telephon dan sms. Sampai Anda sadari bahwa raut bos Anda selalu kelihatan masygul kalau berbicara dengan Anda. Tahukah Anda apa penyebabnya? Ya, dia merasa telah salah menghadiahi sebuah smartphone kepada Anda yang hanya Anda gunakan untuk telephon dan sms. Anda tidak melakukan eksplorasi fungsi lain benda canggih tersebut. Padahal masih banyak fungsi lain dari sebuah smartphone selain untuk bertelephon dan ber sms-ria. Anda bisa menjelajah internet misalnya. Atau melakukan chatting, bahkan videocall. Karena menganggap Anda belum bersyukur, bisa saja bos Anda mengambil lagi hadiah tersebut dan diberikannya kepada orang lain yang menurutnya akan mengeksplorasi fungsinya.
Pembaca yang budiman, sebagai ciptaan Allah paling sempurna, kita telah dikarunia pelbagai potensi untuk menghadapi segala macam tantangan hidup. Kita hanya akan dikatakan bersyukur setelah kita melewati tahapan menerima dan mengeksplor tadi. Oleh karena itu kita perlu ngulik segala sumber daya yang ada dalam diri kita dan mengembalikannya kepada alam semesta ini dalam bentuk manfaat yang sebesar-besarnya. Maka jadilah rahmatan lil alamin, rahmat untuk alam beserta segala isinya. Karena bila kita lalai, bisa saja Allah mengambil semua potensi kita dan memberikannya kepada orang lain. Ya, karena SYUKUR adalah Saya Yakin Usaha Kita Urusan Rabb.
Nah, pilihan yang telah aku ambil seperti ceritaku pada awal tulisan ini merupakan bagian dari caraku mengungkapkan rasa sabar dan syukurku. Aku tidak mau duduk diam berpangku tangan saja, dan aku mencoba mengoptimalkan segala potensi yang telah Allah karuniakan kepadaku. Aku ingin mencapai kesuksesan dan aku ingin menjadi rahmatan lil alamiin. Dan ternyata aku memang menikmati pagiku di jalan bebas hambatan.
Semoga bermanfaat
Tabik
-haridewa-