Talavera, Oct 2012
Sudah banyak pelatihan bahkan pemahaman Leadership yang saya dapatkan. Mulai dari Transformational Leadership, Transactional Leadership sampai Situational Leadership-nya Ken Blanchard, namun pelajaran Leadership yang saya dapatkan di mushola kantor siang ini rasanya lebih dari semua ‘ilmu’ leadership yang pernah saya alami. Ilmu ini saya sebut sebagai Mihrab Leadership. Menurut Wikipedia, Mihrab adalah bagian dari bangunan masjid atau mushalla yang biasanya digunakan sebagai tempat imam memimpin salat berjamaah. Artinya mihrab adalah tempat dengan hierarki tertinggi dalam hubungannya dengan proses penyembahan kita kepada Allah. Nah, sepetik kisah di bawah ini akan menunjukkan kepada Anda betapa indahnya proses ‘perebutan kekuasaan’ sang mihrab itu sendiri.
Ceritanya sangatlah sederhana, bahkan mungkin beberapa di antara Anda juga sering mengalaminya. Setelah break makan siang, mushola kantor senantiasa padat dengan karyawan yang ingin menjalankan ibadah shalat dhuhur, mulai dari OB sampai direktur. Ketika sudah berada di dalam mushola, yang notabene adalah rumah Allah, tidak ada lagi perbedaan kedudukan, pangkat dan jabatan di sana. Semua sama. Semua ingin menunjukkan baktinya kepada Sang Khalik Semesta Alam.
Dalam shalat berjamaah, tentunya harus ada yang menjadi imam. Di sinilah letak keindahan ‘leadership’ yang saya maksud. Alih-alih berebut ‘jabatan’ imam, sang pemimpin shalat siang itu, setiap orang justru menawarkan kepada yang lain untuk menjadi imam. Menjadi pemimpin. Untuk menempati singgasana ‘mihrab’. Tidak direktur, tidak manager, tidak staff, tidak juga OB. Semua saling menawarkan, dan terkesan ikhlas untuk dipimpin oleh orang lainnya. Luar biasanya, siang itu yang ‘terpaksa’ (karena sebenarnya dia juga menolak karena merasa tidak enak. Namun karena tidak ada lagi yang mau menjadi imam, maka dialah yang maju memimpin shalat siang itu) menjadi imam adalah OB (lebih tepatnya OM, Office Man mengingat usianya yang sudah senior, hehehe), meski demikian namun setiap makmumnya mengikuti ‘perintah’ dari sang pemimpin tadi dengan taat.
Meski salah satu makmumnya adalah direktur, namun mana berani beliau mendahului takbir sang OB tadi. Ketika sang OB takbir memerintahkan makmumnya untuk ruku, maka ruku pulalah para manajer, staff, dan direktur. Ketika OB bilang sujud (tentunya melalui takbir), maka sujud pulalah staf, manajer dan direkturnya. Ikhlas. ”Sami’na wa a tho’na” kami mendengar, dan kami taat. Tak ada keluhan. Tak ada perdebatan. Semua sama. Patuh taat. Indah sekali bukan?
Ada beberapa alasan kenapa tidak terjadi perebutan kekuasaan ‘mihrab’ di mushola itu :
- Semua orang merasa ilmunya belum cukup untuk menjadi imam (baca: pemimpin). Oleh karena itu mereka lebih ikhlas ketika dipimpin oleh orang lain yang mereka anggap lebih capable. Lebih mampu. Karena mereka pastinya punya pengharapan bahwa shalatnya akan diterima oleh Allah, karena dipimpin oleh orang yang tepat. Dan tentunya memang akan lebih nyaman rasanya ketika kita berada di perahu yang tepat.
- Semua orang merasa dirinya belum bersih untuk menjadi imam (baca: pemimpin). Biasanya orang yang seperti ini akan mejadi peragu dalam mengambil keputusan. Jumlah rakaatpun bisa kurang atau berlebih, karena ada keraguan dalam dirinya. Ada ketakutan Allah tidak akan menerima shalatnya. Faktanya, adakah orang yang benar-benar bersih dari dosa?
Pembaca yang berbahagia, tentunya Anda pernah berada dalam posisi seperti itu bukan? Pertanyaannya adalah dengan posisi atau jabatan yang sekarang kita panggul, pernahkah kita merefleksikan diri seperti ketika kita mau melaksanakan shalat berjamaah tadi. Pernahkah Anda merasa bahwa sebenarnya ilmu Anda belum cukup untuk jabatan Anda sekarang dan sebenarnya ada orang lain yang lebih capable. Ikhlaskah Anda menawarkan jabatan Anda sekarang kepada mereka yang Anda anggap lebih mampu menjalankan posisi Anda?
Atau, apakah Anda sudah merasa bersih dari dosa pekerjaan Anda. Dalam hal ini berarti, kedisiplinan tinggi, komitmen yang kuat dan integritas yang jelas akan pekerjaan Anda? Karena bukankah hanya dengan bekal tiga hal itulah maka kerja Anda akan diterima oleh manajemen, seperti halnya shalat kita diterima olehNya? Lalu kalau jawaban Anda adalah belum dan belum, lalu kenapa Anda tetap ‘nekat’ menerima tanggung jawab atas jabatan yang sekarang Anda genggam?
Pembaca yang berbahagia, Anda tak perlu kesal pada cecaran pertanyaan saya tadi. Ataupun kemudian menjadi patah semangat karena merasa bahwa ternyata cecaran pertanyaan saya tadi adalah benar adanya, hehehe. Dalam ilmu Leadership yang lainnya sebenarnya masalah seperti ini bisa diatasi.
Caranya :
- Kenali diri Anda. Apa kelebihan Anda, dan apa kekurangan Anda, apa peluang dan ancamannya. Saya kasih nama jurus ini jurus KEKEPAN (Kelebihan, Kekurangan, Peluang dan Ancaman).
- Kenali lingkungan Anda. Apa harapan mereka kepada kita. Apa yang kira-kira bisa kita berikan kepada mereka. Anggap saja sebagai jurus penerawangan.
- Kemudian ukur kemampuan kita dibandingkan dengan keinginan dan kebutuhan lingkungan kita tadi. Dari sini kita akan menemukan ‘gap’. Ini namanya jurus ukur.
- Setelah mengetahui ‘gap’ tadi, maka satu hal yang harus segera kita lakukan adalah meningkatkan : KAPASITAS kita. Dengan kata lain segeralah belajar, tutupilah kekurangan kita tadi. Kalau kata Ipho Santoso, memantas-mantaskan diri. Mau jadi manager, ya pelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan ilmu manajemen. Mau jadi imam, ya belajar lagi bacaan Qur’annya.
Ada satu kelebihan lagi dari leadership tipe ini. Bila dalam ilmu kepemimpinan lain, yang biasanya berkuasa dan mempunyai wewenang untuk meluruskan atau mengoreksi adalah sang pimpinan maka dalam mihrab leadership yang terjadi adalah sebaliknya. Coba Anda cermati, begitu sang imam mengucapkan takbiratul ihram, maka meskipun semua makmum wajib taat pada ‘komando’ sang imam, namun pengawasan melekat (waskat) justru dilakukan oleh para makmum tersebut. Nyatanya, setelah imam bertakbir, maka dia sudah tidak bisa memantau makmumnya lagi. Kalaupun ada makmum yang tidak mengikuti perintahnya dengan sempurna, ianya hanya mampu berserah kepada Allah.
Namun ketika sang imam yang melakukan kesalahan, apa yang terjadi? Para makmumlah yang berkewajiban mengingatkan imam! Dan luar biasanya lagi, sebagai imam shalat, maka mereka harus ‘aware’ alias waspada dan siap menerima masukan, untuk kemudian langsung memperbaikinya. Hebatnya lagi, bahkan mereka juga harus ikhlas digantikan ketika kesalahannya benar-benar sudah fatal (ketahuan kentut, misalnya).
Dari penjelasan ini, kita bisa menyimpulkan bahwa ada 2 (dua) komponen penting dalam Mihrab Leadership:
- Pemimpin mumpuni yang berorientasi pada ‘action’ sehingga tidak peragu
- Rakyat yang tawadhu, taat kepada pemimpinnya namun tetap siap waskat sehingga tak mempan diajak kolusi
Pembaca yang berbahagia, bayangkan jika mihrab leadership ini kita implementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Wow, tak perlu ada demo, tak perlu pula saling berebut kekuasaan. Semua menjadi indah, karena masing-masing kita sudah menyadari porsinya. Rakyat bersedia dipimpin oleh ahlinya, namun pemimpin juga wajib sadar kritik dan siap memperbaiki diri.
Sederhana sekali khan. Yup, itulah Mihrab Leadership …..
-haridewa-