MASA DEPAN ENTERPRENEUR INDONESIA
02/06/08
Jum’at malam, 30 May 2008, Ruang Seminar Gd. Rektorat Lt 5, Universitas Jayabaya Jl Jend.Ahamad Yani, Pulo Mas, Jakarta Timur terasa berbeda. Kalau mungkin biasanya selepas maghrib gedung itu sepi sepi saja, apalagi pada hari Jumat, dimana semua orang sudah menunggunya. TGIF, Thanks God Its Friday, karena besoknya libur maka pada hari Jumat (utamanya sore malam hari) mayoritas orang lebih memilih untuk melupakan rutinitas keseharian mereka dan menikmati their off day. Malam itu terdengar teriakan-teriakan meriah dari dalam gedung. Ada apakah gerangan? Siapakah mereka? Apakah mereka sedang melakukan orasi unjuk rasa menolak kenaikan BBM? Apakah mereka orang-orang GILA?
Ternyata orang-orang yang berkumpul itu adalah peserta Free Seminar tentang Masa Depan Enterpreneur Indonesia yang digagas oleh Pak Valentino Dinsi dari Lets Go Indonesia yang menghadirkan beberapa enterpreneur sukses Indonesia seperti Roni Yuzirman (Komunitas Tangan Diatas), Valentino Dinsi (LET’S GO Indonesia), Khairu Salim (Entrepreneur College), Budi Utoyo (Entrepreneur University), Elang Gumilang (Maestro Muda Indonesia), Bambang Suharno (Indonesia Entrepreneur Society), Tukhas Imaroh (Universitas Jayabaya), Sahmulah Rifqi (Oase School for Entrepreneur), dan Zaenal Abidin (Institute Kemandirian). Karena kesibukan masing-masing peserta seminar dan mungkin juga para nara sumber, seminar tersebut terpaksa dimulai terlambat 1 jam yaitu pukul 19.00 WIB. Acara dibuka oleh sang penggagas ide yaitu Pak Valentino Dinsi. Founder Lets Go Indonesia ini menyampaikan kegelisahannya akan kondisi negeri ini. Seratus tahun sudah sejak didirikannya organisasi Budi Utomo, namun kenyataannya kebangkitan nasional itu belumlah kentara. Yang ada justru kian hari kondisi negeri kita tercinta ini kian terpuruk. Berangkat dari kegelisahannya itulah beliau mulai menelepon rekan rekan sesama enterpreneur untuk mulai melakukan sebuah aksi. Dan gayung bersambut, sehingga sebagai tonggaknya diselenggarakanlah free seminar ini. Bang Valent, sapaan akrabnya, juga berkomitmen untuk rutin mengadakan seminar seperti ini setiap bulannya. Dan tetap FREE.
Kemudian mulailah beliau mempersilakan para narasumber untuk memberikan opening speech.
Diawali oleh pak Salim yang langsung menularkan virus GILA-nya kepada semua peserta. Setiap beliau meneriakkan “Apa Kabar?”, maka semua peserta diminta untuk menjawab GILA. Ternyata GILA ini adalah kependekan dari (kalau tidak salah ingat ya, :)) Gairah Ingin Lakukan Aksi. Selanjutnya pendiri Enterpreneur College ini menyatakan bahwa perbedaan antara orang kaya dan orang miskin hanyalah satu. Yaitu AKSI. Orang kaya (atau minimal sudah bermental kaya) akan selalu melakukan aksi. Take action miracle happens. Sementara orang miskin (atau yang bermental miskin) biasanya hanya rajin berpangku tangan. Selalu menyalahkan lingkungan ketika nasib baik tak pernah berpihak kepadanya. Mengeluh. Always Blame It To The Rain kalau kata Milli Vanilli.
Kemudian mic berpindah ke tangan Pak Bambang Suharno, yang juga tak mau kalah. Setiap kali meneriakkan “Selamat Malam”, maka beliau minta dijawab dengan “Selamat Pagi!” Ini bukan sebuah time disorientation, tapi memang itulah metafora dari dunia bisnis. There is no evening day, yang identik dengan kegelapan. Sebuah semangat enterpreneurship sederhana namun powerful coba ditawarkan oleh founder Indonesia Entrepreneur Society ini. Pendapat ini juga di amini oleh Ibu Imaroh dari Universitas Jayabaya yang memberikan opening speech berikutnya. Ibu dosen yang doktor juga pengusaha ini menimpali bahwa seorang enterpreneur harus selalu mempunyai semangat pagi. Semangat yang senantiasa berkobar, seperti halnya saat kita memulai aktifitas di pagi hari.
Tiba-tiba masuk seorang dengan postur tinggi besar mengenakan sport costum warna merah putih layaknya seorang judoin. Siapakah dia? Ternyata beliau langsung menyambar mic dan langsung meneriakkan “Apa Kabar?” “GILAAAA!”, kompak para peserta seminar menjawab. “Siapa mau lima puluh ribu?”, katanya sambil mengacungkan selembar uang limapuluh ribuan. Serentak para peserta seminar mengacungkan tangannya. Dan seorang peserta dengan cekatan mendekati bapak tersebut dan langsung menyambar uang tadi. Satu pelajaran berharga saya dapatkan malam itu. Ternyata mau saja tidak cukup. Mengacungkan tangan saja tidak cukup untuk mendapatkan uang tersebut. Kita harus take action! Bapak tadi ternyata adalah Rektor Institut Kemandirian (menurut beliau sih rektor yang mengangkat dirinya sendiri, :)) Pak Zainal Abidin yang akrab disapa Bang Jay. Selanjutnya Bang Jay memutar sebuah movie clip yang bertutur tentang kehidupan topeng monyet. Dengan kesabaran dan keuletan pelatihnya, monyet tadi mampu melakukan berbagai gaya. Menarik gerobak, salto berjumpalitan, bermain kuda lumping, perang-perangan, bersantai, bahkan shalat. Berbekal pelbagai gaya tersebut seekor monyet mampu menghasilkan Rp 15.000 per sekali tanggap (untuk durasi kurang dari 1 jam). Sementara kenyataan di sebuah pabrik sepatu Nike yang di pasaran dibandrol Rp 1,4 jutaan, pekerjanya hanya mendapatkan upah Rp 5000,- (saya yakin untuk menghasilkan sebuah sepatu diperlukan waktu lebih dari 1 jam). Rupanya korelasi ini yang mau disampaikan oleh Bang Jay, harga pekerja di Indonesia tidaklah lebih dari seekor monyet!
Kesempatan berikut diberikan kepada Pak Budi Utoyo dari Enterpreneur University. Beliau memaparkan sebuah catatan kecil bahwa ternyata semakin tinggi pendidikan seseorang itu, semakin sulitlah dia untuk menjadi enterpreuner. Rata-rata orang pandai tersebut hanyalah bekerja membesarkan usaha orang lain. Beberapa contoh beliau sebutkan, mulai dari Om Liem yang tak lulus SD, Andri Wongso yang di kartu namanya tertulis SDDT TBS. Sekolah Dasar Tidak Tamat, tapi Bisa Sukses. Juga dedengkot enterpreneur Indonesia Bob Hasan. Namun beliau mengingatkan, meskipun dalam dunia enterpreneur latar belakang pendidikan tidaklah menentukan, namun seorang enterpreneur sejati haruslah selalu belajar. Belajar dari kehidupan ini. Banyak membaca dlsb..
Kemudia sambung menyambung pak Rifqi dan Elang Gumilang memberikan ulasannya. Inti dari pembicaraan kedua tokoh ini hampir sama, yaitu bahwa ada sebuah tangan besar yang akan mengatur kehidupan kita. Pak Rifki dari Oase School for Entrepreneur mengingatkan kita bahwa dalam menjalankan sebuah bisnis kita harus mampu memilah-milah faktor pendukung. Karena menurut beliau ada dua faktor pendukung utama. Faktor teknis sebesar 20 %, dan non teknis 80 %. Rata-rata orang selalu memfokuskan diri pada penanganan faktor teknis seperti promosi, permodalan, manpower, dll. Jarang pengusaha yang mengurusi faktor non teknis, padahal sebenarnya sharenya lebih besar. Apa saja faktor non teknis ini? Menurut Pak Rifki, ini adalah penguasaan apa yang disebut habluminallah dan hablum minannaas. Hubungan transedental manusia dengan Tuhannya dan antar manusia itu sendiri. Meskipun kita sudah menjalankan semua teknik marketing (4 P’s), dan untuk sementara hasil bisnis kita gemilang, namun bila kita masih sering melakukan kedzaliman-kedzaliman baik kepada Sang Khalik maupun sesama, maka kegemilangan kita hanyalah semu adanya. Kita sukses namun jarang menderma, atau karena kesibukan berbisnis maka shalat jadi terbengkelai. Berdagang namun mencurangi pelanggan, ataupun menyiksa suplier dengan tagihan yang menyendat adalah contoh contoh faktor non teknis tadi. Tuhan tahu, Dia hanya menunggu. Suatu saat pasti kita akan menerima akibatnya. Makanya ketika ada audience yang bertanya kenapa sebagai karyawan dia tidak bisa menjalankan bisni dengan baik, Pak Rifki langsung menjawab, karena sebagai karyawan kita masih sering malkukan kedzaliman kepada perusahaan. Contoh nyata, istirahat seharusnya jam 12.00, tapi karena ingin mengurusi bisnis kita keluar kantor jam 11.30. Satu kedzaliman telah terjadi. Contoh lain, kita mencetak dan menggandakan proposal bisnis menggunakan fasilitas kantor, tanpa ijin dari atasan lagi. Kedzaliman lagi. Belum lagi koneksi internet kantor yang kita gunakan untuk melakukan transaksi-transaksi bisnis. (Gubrak, mohon maaf kalau banyak yang tersindir ya. Including me, hehehe).
Beliau juga mengingatkan bahwa ada perbedaan mendasar antar Businessman dengan Enterpreneur. Seorang businessman hanyalah seseorang yang menjalankan bisnisnya, that’s all. Dia tidak peduli dengan lingkungan. Yang dicari hanyalah laba semata. Apapun caranya halal saja adanya. Bila terjadi kegagalan maka dia akan mencari kambing hitam. Menyalahkan pemerintah, lingkungan, karyawan dll. Sementara enterpreneur adalah sebuah sikap mental, state of mind. Seorang enterpreneur akan berusaha untuk selalu bermanfaat untuk orang lain. Bersama menebar berkah. Bila terjadi kegagalan maka dia akan mawas diri, introspeksi, dan segera bangkit lagi.
Kemudian sang Maestro Muda Indonesia, Elang menyitir sebuah ayat Al Quran, bahwasanya tidak akan Allah memberikan cobaan di luar kemampuan umatNya. Meskipun masih belia, pemuda berpenghasilan 17 M/tahun ini mempuyai wawasan yang luas, dan sebagaiman orang sukses lainnya, PD sekali. Religius pula.
Pak Roni tiba, dan langsung dimintai komentar mengenai TDA. “Tangan Di Atas adalah komunitas yang tidak sengaja saya bentuk. Bermula dari blogging, kemudian dibentuklah mailing list TDA yang sekarang membernya lebih dari dua ribu orang”, Pak Roni memulai penjelasannya. Sebenarnya TDA lebih diutamakan sebagai komunitas offline, yaitu pertemuan rutin membernya untuk saling sharing bisnis dan saling mendukung dengan slogan bersama menebar berkah. Kini TDA telah bekerja sama dengan beberapa pihak seperti Detik.com, dan President University. Detik menawarkan program discount untuk beriklan di websitenya dan President University bahkan akan memberikan dukungan nyata kepada member TDA dalam mengembangkan bisnisnya. Bila perlu sampai Go Public. Dan perkembangan terbaru dari TDA adalah akan diluncurkannya Portal TDA pada bulan Juli nanti. Malam itu Jendral TDA ini juga memberi kesempatan bagi audience yang ingin bergabung dengan komunitas TDA untuk langsung mengirimkan email kepada beliau di roniyuzirman@gmail.com, dijamin langsung di approve.
Pada kesempatan itu juga secara resmi dibentuk Indonesian Enterpreneur Association yang nantinya akan berafiliasi dengan International Enterpreneur Association. Secara aklamasi audience memilih Pak Valentino Dinsi sebagai Ketuanya. Selamat untuk Bang Valent. Selamat untuk kita semua. Bangkitlah Enterpreneur Indonesia.
(haridewa)
NB:
Ada sedikit small winning yang ingin saya ceritakan. Singkatnya setelah acara selesai, para peserta seminar saling berebutan untuk berfoto dengan para narasumber, bertukar kartu nama atau sekedar bersalaman. Saya berkesempatan untuk bersalaman dengan Pak Isdi, Mas Faif, Bu Sri Kurniatun dan Pak Roni (tapi gak sempat ngobrol, beliau sibuk sih), dan langsung menghampiri Bang Jay. “Bang Jay, saya Hari, boleh minta kartu namanya?” “Enak saja, bayar!”, katanya. Dan karena saya sudah mulai kenal karakternya, maka langsung saja saya mengeluarkan dompet. “Nggak masalah, berapa Bang Jay?” “Sepuluh ribu!”. Langsung saja kuulurkan uang sepuluhribuan. Untuk mengenal seorang Zainal Abidin mungkin memang perlu ongkos, pikirku. Tapi diluar dugaan, sambil memberikan kartu namanya beliau memberikan selembar uang limapuluhribuan. “Bagus, saya suka orang yang nggak ragu-ragu seperti ini.” Hahaha, ternyata malam tadi membawa berkah untukku. Wawasan jelas makin bertambah, dan untung Rp 40 ribu man! Terima kasih Bang Jay.
NB2: Mohon maaf bila ada sitasi yang kurang tepat. Maklum tadi malam ga sempat nyatat. Semua hanya bermodal ingatan.Hehehe.