NaZaMWZcMGZ8LGZ7MGxaNGtaLDcsynIkynwbzD1c

KIDAL VS KADAL

BLANTERLANDINGv101
3034015059065731839

KIDAL VS KADAL

05/09/20

S
eiring dengan pembelajaran dan pemahaman yang  saya peroleh dalam mempelajari NLP (Neuro Linguistic Programming), saya merasakan bahwa ilmu satu ini memang mudah dan senantiasa memudahkan hidup kita. Berbagai situasi dari yang sederhana hingga rumit bisa menjadi terasa simple ketika diurai dengan pendekatan NLP. Bukan berarti saya kemudian menjadi bersikap simplify menghadapi semua kejadian, melainkan saya berusaha berprinsip simplicity. 


Nah, apa pula beda dua istilah ini? Menurut hemat saya, simplify adalah menggampangkan, atau menganggap sepele segala sesuatu. Atau dengan kata lain menyederhanakan sesuatu, tanpa paham dasar pemikirannya. Sementara simplicity adalah sebuah kerangka berpikir sederhana, namun setelah memahami dan mengkaji semua kemungkinan dari berbagai sudut pandang. Atau dengan kata lain, mampu menyelesaikan atau menyampaikan sesuatu yang rumit dengan cara yang simple. 

Tentu framework ini saya peroleh tidak tiba-tiba sahaja, ketika dulu pertama kali mengenal NLP, saya juga mengalami fase pusing tujuh keliling. Tahun 2000-an, ketika NLP baru marak diperbincangkan pada forum-forum pelatihan dan diskusi sumberdaya manusia, hanya sepotong-sepotong informasi mengenai ilmu ini yang saya peroleh, baik dari internet (yang masih sangat minim), radio, ataupun buku. Alih-alih makin paham, saat itu kepeningan saya justru kian bertambah ketika ingin 'ngulik' lebih dalam lagi mengenai NLP. Informasi dominan yang saya dapatkan adalah ini alat terapi yang canggih. Secanggih apa, bagaimana caranya, semua serba sumir. Bahkan ketika ada kawan yang saya dengar sudah ikut pelatihan NLP dan saya tanya apa sih sebenarnya NLP itu, bukannya saya tambah paham, namun dia sendiri rupanya juga malah jadi bingung dengan pertanyaan-pertanyaan saya. 

Seolah materi yang diajarkan dalam NLP merupakan dikotomi dari benar atau salah terhadap pemahaman ilmu pemberdayaan diri sebelumnya. Misal saja pada materi VAK,  seolah urusan masuknya informasi ke pikiran manusia ini bisa menjadi label seseorang, disertai dengan plus dan minusnya. 

"Anakku itu kinestetik, jadi dia tidak bisa diam ketika belajar." 
"Saya ini bukan visual, jadi tidak cocok jadi pelukis"
"Seorang auditori akan menjadi musisi yang bagus dibandingkan seorang yang visual"

Itu baru kebingungan tentang satu materi, belum lagi campur aduknya penjelasan mengenai model, strategi dan teknik yang seolah sengaja diciptakan agar ilmu ini terkesan rumit. Biasanya hal yang rumit dan sophisticated akan dibandrol dengan harga mahal. Nyatanya waktu itu memang modal yang diperlukan untuk mengikuti pelatihan selama 7 hari adalah 16 juta rupiah. Wew! 

Padahal Bandler dan Grinder menyusun ilmu yang kemudian dikenal dengan nama NLP ini dengan memodel banyak ahli yang mempelajari cara kerja pikiran manusia. Dari pemodelan-pemodelan tersebut, pencetus NLP ini menemukan beberapa benang merah yang membuat mereka juga mampu melakukan ekselensi dengan MUDAH. Dimulai dengan pencetusan asumsi-asumsi dasar (presuposisi), framework, sampai filosofi dasar bahwa NLP tidak mengenal teknik benar atau salah. Yang ada hanyalah efektif, atau tidak. Jika efektif maka bisa dilanjutkan, jika tidak efektif, ganti saja dengan cara lain. Cari beda, cara beda! 

Kembali ke labeling VAK tadi. Setelah menggali lebih dalam lagi proses masuknya informasi ke pikiran manusia, maka tidaklah tepat jika seseorang disebut (bahkan cenderung diprofil) dengan V, A, atau K. Apa pasal? Karena itu hanyalah sebuah pilihan. Sebuah favorit sahaja. Maka istilahnya juga preference system. Akar katanya adalah prefer, yang artinya lebih suka. Seseorang yang selama ini dikenal dengan sistem preferensi visual misalnya, apakah dia masih memiliki kemampuan menerima informasi menggunakan telinganya (auditori), atau menggunakan kulitnya (kinestetik)? Tentu saja masih! Namun dia lebih suka dan lebih nyaman menerima informasi menggunakan matanya. Dan hal ini sudah dia lakukan sedari kecil. Artinya indera matanya lebih terlatih dalam menerima informasi, dibandingkan dengan indra yang lainnya. 

Bukankah hal serupa juga terjadi pada kedua tangan kita. Sebagian besar orang Indonesia menggunakan tangan kanan mereka untuk melakukan aktifitas, seperti makan, menulis, memegang raket, memancing, menggunting, memukul, dlsb (right handed). Hanya segelintir kecil dari kita yang menggunakan tangan kirinya untuk aktifitas harian tersebut (left handed). Mereka biasanya disebut dengan istilah KIDAL. 

Muncul pertanyaan sederhana dalam pikiran saya, kenapa untuk kita yang right handed, tangan kiri kita tidak sekuat tangan kanan. Demikian juga sebaliknya, untuk para kidal, tangan kanan mereka tidak sekuat tangan kirinya? Apa karena campur tangan otak? Konon para kidal ini lebih dominan dikendalikan otak kanan, demikian pula sebaliknya. Menurut saya kok bukan ya. Kondisi ini murni karena pilihan kita. Sedari lahir para kidal memilih untuk selalu melatih dan menggunakan tangan kiri, dan mengabaikan tangan kanan, sehingga wajar saja jika tangan kirinya menjadi lebih terampil dan kuat. Begitu juga kita yang tidak kidal, kita memilih melatih dan selalu menggunakan tangan kanan, maka tangan kanan pulalah yang lebih terampil serta kuat. 

Apakah ada orang yang mampu menggunakan kedua tangannya dengan berimbang? Sejarah mencatat ada satu orang yang mampu menulis menggunakan kedua tangan dengan sama bagus. Dia adalah Leonardo Da Vinci. Bagaimana dia melakukannya? Dari kecil dia melatih kedua tangannya untuk melakukan aktifitas harian. Jika satu orang mampu melakukan sebuah ekselensi, saya yakin kita juga mampu. Asal kita mau mempelajari caranya. 

Ngomong-ngomong, tahukah Anda kenapa para left handed ini dijuluki dengan istilah kidal? Sederhana saja sih jawabnya. Karena mereka lebih terampil menggunakan tangan kirinya. 

Lha itu sih kami sudah paham Bro! 

Kenapa mereka lebih terampil menggunakan tangan kirinya? Karena sedari lahir mereka memang lebih suka memakai tangan kiri

Itu kami juga sudah tahu Bro! 

Baiklah, saya kasih tahu rahasia terbesar abad ini ya. Pantengin baik-baik. 

Mereka begitu karena mereka itu sudah memilih menggunakan tangan KIri DAri Lahir! KIDAL! 

Nah, kalau begitu apa dong istilah untuk kita, para right handed. Ya jelas KAnan DAri Lahir! Selamat datang wahai para  KADAL! 
Wkwkwk....!

Tabik
-haridewa-
Happiness Life Coach
(anggota kadal juga)
BLANTERLANDINGv101
Formulir Kontak Whatsapp×
Data Anda
Data Lainnya
Kirim Sekarang