NaZaMWZcMGZ8LGZ7MGxaNGtaLDcsynIkynwbzD1c

Saya, Aku, atau Gue?

BLANTERLANDINGv101
3034015059065731839

Saya, Aku, atau Gue?

24/01/18
Sejak jaman Aristoteles,  kepribadian manusia sudah mulai dipilah dan dipilih sesuai dengan gejala psiko-motorik keseharian yang dominan dimunculkannya. Maka kita mengenal Koleris (si Kuat),  Sanguin (si Superstar),  Plegmatis (si Pencinta Damai),  dan Melankolis (si Sempurna). 

Hasil gambar untuk aristotelesKoleris suka mengatur dan memerintah orang. Dia tidak mau ada orang berdiam diri saja sementara dia sibuk kerja/beraktivitas.  Orang dengan tipe sanguin terkenal dengan banyak omongnya, dan memiliki kemampuan komunikasi yang baik serta mengusasai pembicaraan.  Kaum plegmatis umumnya menghindari konflik alias netral, bagi mereka perdamaian itu nomer satu.  Mereka juga baik hati, pribadinya tenang rendah hati dan juga penyabar. Tipe Melankolis mempunyai sifat dasar yang tertutup. Mereka sering mempunyai tingkat kecerdasan yang tinggi dan bersifat estetis yang mendalam sehingga mereka lebih menghargai seni dibandingkan dengan perangai yang lainnya. Tipe Melankolis cenderung suka murung dan mudah putus asa.

Selain tipologi di atas, kita juga mengenal DISC (Dominance, Influence, Steadiness, Compliance), MBTI (Myers-Briggs Type Indicator) dan beberapa varian ragam tipologi lainnya. NLP sebagai salah satu keilmuan yang dikenal cerdas dalam melakukan transformasi kepribadian manusia juga memiliki sistem tipologi tersendiri yang dikenal sebagai Meta Program. Istilah ini merujuk pada Program pada tataran Meta yang berfungsi sebagai alat sortir ketika kita akan memproses suatu pemaknaan melalui persepsi, meliputi proses input, filtering dan penyimpanan data yang pada akhirnya termanifestasi pada perilaku manusia.

“In Neuro-Linguistic Programming (NLP), meta-programs are the keys to the way you process information. They’re basically how you form your internal representations and direct your behavior” 

Meta program ini terbentuk dari pikiran dan perasaan yang muncul dalam diri kita secara berulang-ulang.  Memahami Meta program adalah prasyarat mutlak bagi terapis,  konselor, motivator, HRD people, pengusaha, atasan dan siapa saja yang ingin melakukan profiling,  baik dalam rangka mencari solusi terhadap masalah seseorang, membangkitkan semangat dan prestasi, dan lain sebagainya.

Dalam literatur dikenal ada puluhan meta program. Setidaknya menurut Michael Hall ada 60 meta program dari hasil penelitiannya. Namun, kita coba melihatnya dari Rodger Bailey yang melakukan riset secara empiris dan universal, yang dinamakan LAB (Language And Behaviour) Profile.  Adapun yang menjadi perhatiannya adalah struktur bahasa (language structure) seseorang.

Marilah kita simak beberapa meta program tersebut  :
- Proactive/Reactive
Ada beberapa orang yang terbiasa memulai sebuah aksi (proaktif) dan ada sebagian lainnya yang bereaksi atas sebuah aksi (reaktif)

- Toward/Away
Sebagian orang bergerak untuk mencapai kenikmatan  (toward), sementara sebagian lainnya bergerak untuk menjauhi kesengsaraan  (away)

- Internal/External
Sumber motivasi seseorang bisa berasal dari dalam dirinya (internal) atau bisa dari orang lain (eksternal)

- Optional/Prosedural
Ada orang yang langsung bisa dengan mudah mengambil pilihan-pilihan kegiatan atau usaha (opsional) namun ada juga yang senang dengan serangkaian prosedur atau seperangkat aturan untuk menjalankan sesuatu (prosedural)

- Sameness/Difference
Ada orang-orang yang senang ketika memasuki suatu pekerjaan atau usaha yang memiliki “persamaan” dengan yang pernah ia jalankan sebelumnya (Sameness).  Sedangkan adapula yang ketika disuguhkan pekerjaan yang itu-itu juga akan merasa cepat bosan dan ia ingin sesuatu yang lebih menantang dan berbeda (Difference)

- Feeling/Thinking
Ada beberapa orang yang melakukan penilaian berdasarkan “perasaan” mereka (Feeling), dan ada yang lebih dominan melihat dari sisi logika atau “Pikiran” (Thinking).
***

Sebagai terapis, saya dituntut untuk memahami profiling ini dengan baik agar segera tercipta keterhubungan bathin dengan klien dalam proses terapinya.
Setelah paham sumber motivasinya, kecenderungan feeling/thinkingnya, biasanya saya akan mencari tahu pendekatan internal/externalnya. Untuk klien dengan tipe external saya biasanya memberikan direct sugestion,  menggunakan sudut pandang orang kedua (Anda) dan mencari panggilan yang nyaman bagi klien sehingga sugesti akan menjadi lebih kuat.

Kalau di rumah seorang anak dipanggil 'kakak' maka saya juga akan menggunakan sebutan tersebut. Ketika seorang ibu muda lebih suka dipanggil Mbak/Teh, saya juga akan mengikutinya. Yang saya akan tolak ketika ada lelaki macho yang minta dipanggil 'Beb',  hiiiiy emang eike cowok apaan!  

Dan untuk tipe internal, saya akan meminta klien mengulangi dalam hati (atau mengucap dengan suara lembut) sugesti yang saya sampaikan yang biasanya menggunakan sudut pandang orang pertama (aku). Awalnya saya mengira varian orang pertama ini bisa diwakilkan oleh satu sebutan yang seragam yaitu aku atau saya. Namun saya mendapatkan pencerahan ketika melakukan terapi masal quit smoking beberapa waktu yang lalu.

Klien saya waktu itu adalah beberapa waitress di salah satu Resto favorit di kota Bogor. Kebetulan ke 5 klien ini bertipe internal, jadi setelah melakukan beberapa tahapan, saya mengunci niat berhenti merokok mereka dengan sugesti:

"Aku tahu, jauh di dalam diriku, bahwa Aku adalah tuan untuk diriku sendiri, tidak ada yang pernah bisa mengendalikan diriku, dan karena itu aku bisa menjadi apa pun yang aku inginkan …  oleh karena itu, aku memutuskan untuk berhenti merokok … aku  memutuskan untuk diri sendiri kapan harus benar-benar berhenti merokok … aku telah memutuskan untuk berhenti merokok. Dan waktu yang paling tepat untuk berhenti merokok adalah sekarang. Maka mulai sekarang dan selanjutnya aku adalah pribadi sehat tanpa rokok, dsb dst"

Setelah saya lakukan terminasi kemudian saya cek apakah mereka masih menginginkan rokok ketika saya tawarkan. Dan ternyata hanya satu orang yang betul-betul menolak bahkan terkesan mual ketika menerima rokok dari saya, sementara ke-empat kawannya masih bisa menikmati rokok mereka. Saya berfikir keras mencari tahu, pasti ada yang kurang tepat dalam penyusunan sugesti tadi. Kenapa hanya kurang tepat, bukan salah? Karena ada yang berhasil dipengaruhi.

Saya ingat satu presuposisi bahwa setiap individu adalah unik dan mereka merespon dunia eksternal sesuai dengan dunia internal mereka masing-masing. Kemudian saya tanya bagaimana mereka menyebut diri mereka ketika melakukan self talk. Klien yang terpengaruh oleh sugesti tadi menjawab,  'aku',  dua kawan di sampingnya menjawab 'abdi',  satu orang menjawab 'urang',  satu lagi menjawab 'aing'.

Dhuarrr,  bagai dikagetkan oleh geledek di siang bolong saya baru nyadar. Kok bisa hal ini terlewat dari pengamatan saya! Kalau untuk menyebut klien dalam sudut pandang orang kedua saja saya mencari varian sebutan yang nyaman bagi klien, rupanya connectedness klien kepada dirinya sendiri juga dibutuhkan dengan mencari varian sebutan yang paling nyaman bagi mereka.
Dan ketika proses terapi saya ulangi untuk ke empat klien tersisa dengan arahan untuk mengganti sebutan 'aku' dengan sebutan yang nyaman bagi mereka yaitu abdi, urang dan aing. Alhasil siang itu akhirnya saya mendapatkan sumbangan 5 bungkus rokok dikarenakan pemiliknya sudah insyaf dari kebiasaan merokoknya.
***
Sidang Pembaca yang budiman, mungkin ada sebagian dari Anda yang menganggap bahwa hal yang saya sampaikan ini adalah hal yang sepele dan remeh temeh. Namun tunggu dulu, sejak saat itu saya mencoba mencari korelasi dengan sendi kehidupan yang lebih luas yaitu mengenai keterhubungan kita dengan orang terdekat kita (keluarga) bahkan dengan  Sang Khalik. Coba cek lagi apakah kita sudah menyebut anak dan istri kita dengan sebutan yang nyaman untuk mereka?

Anak bungsu saya bernama Aditya Sakti Celestion Dewanto, dari kecil kami panggil dia Tion. Namun begitu menginjak SD, entah dengan alasan apa, dia minta dipanggil Adit di depan kawan-kawannya. Dia tidak akan merespon bahkan cenderung kesal ketika di depan kawan-kawannya kami panggil Tion. Mungkin Anda juga punya pengalaman sejenis.

Dalam tataran yang lebih relijius, apakah kita sudah memosisikan kedudukan kita di hadapan Allah dengan dekat? Maksud saya, apakah ketika mengucap doa, kita sudah betul-betul mendekatkan diri denganNya menggunakan sebutan orang pertama yang cocok, nyaman dan dekat?

Ini mirip dengan dialektika dalam keseharian, ketika berbincang dengan kawan yang menurut kita sudah dekat hubungannya, biasanya kita akan ber-'aku' atau ber-'gue', sementara ketika sedang berada di dalam forum atau kurang dekat hubungan kita dengan lawan bicara maka kita akan menggunakan kata ganti orang pertama 'saya'.

Nah, jika Anda merasa bahwa hubungan Anda dengan keluarga belum bagus, atau doa Anda selama ini belum ma'bul, cobalah teliti lagi apakah tingkat connectedness bathin Anda dengan keluarga atau dengan Allah sudah sangat erat.

Lu paham maksud gue khan? 

Tabik
-haridewa-
Happiness Life Coach
NLP Trainer
 
BLANTERLANDINGv101
Formulir Kontak Whatsapp×
Data Anda
Data Lainnya
Kirim Sekarang